Rabu, 08 Agustus 2012

BUNG KARNO, ENDE & NASKAH TONIL : Semangat Revolusi & Ramalan Kemerdekaan Republik Indonesia.


Kemerdekaan yang kita nikmati sejak 67 tahun lalu hingga saat ini, akan terasa begitu kosong bila kita tidak mengetahui dari mana awalnya dan bagaimana gerakan perjuangan itu sampai pada detik-detik menjelang berkumandangnya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia hingga ke semua penjuru dunia.
Ende, sebuah kota kecil dibagian tengah Pulau Flores – NTT tidak bisa terpisahkan begitu saja dari sejarah kemerdekaan negeri ini. Kota kecil ini bukanlah Jawa pada saat itu, tapi masyarakat dan kehidupan kota kecil ini telah banyak memberikan inspirasi dalam gerakan revolusi seorang Bung Karno sampai pada puncaknya tanggal: 17 Agustus 1945. 

Kota Ende adalah tempat dimana Bung Karno menjalani masa pembuangannya sebagai tahanan politik pemerintah Hindia Belanda dari tahun 1934 s/d 1938. Alangkah berdosanya sebagian masyarakat negeri ini yang tidak mengetahui bagaimana Kota Ende yang adalah rentetan skenario dan napak tilas perjuangan salah seorang pendiri negeri ini. Saat-saat pertama menjalani kehidupan di Ende, Bung Karno merasakan seolah berada di ujung dunia dan semangat revolusinya bagai berada dalam kurungan. Namun irama hidup perjuangan seorang Bung Karno, telah membuatnya mampu merubah situasi sulit ini dengan berbagai kegiatan untuk mengumpulkan kekuatan revolusi yang baru.

Klub Tonil Kelimutu adalah nafas perjuangan Bung Karno di Ende. Bersama rakyat kecil yang tidak mengerti apa-apa, Bung Karno seolah membangun sebuah benteng pertahanan rahasia yang tidak pernah terdeteksi oleh pemerintah Belanda. Bung Karno membentuk komunitas masyarakatnya sendiri yang hanya terdiri dari para petani dan pemetik kelapa, para nelayan dan para pemuda yang tidak mempunyai pekerjaan. Bersama masyarakat sederhana yang tidak mengerti apa-apa tentang politik inilah Bung Karno membangun sebuah kekuatan baru.
Dengan terbentuknya Klub Tonil Kelimutu ini, Bung Karno menanamkan semangat perjuangan ke dalam diri sahabat-sahabatnya. Harapan akan suatu bangsa yang merdeka dan Indonesia yang berdaulat semakin dikobarkannya dan menyala-nyala dilubuk jiwa mereka. Kesibukan baru pun mulai dijalani Bung Karno dengan menulis naskah-naskah sandiwara yang ia pentaskan bersama komunitas kecilnya. Kecil dalam jumlah tapi semangat mereka bagai karang yang menantang ombak. Selama masa pembuangannya di Ende antara tahun 1934 – 1938, Bung Karno menulis 12 naskah sandiwara yang semuanya bernafaskan revolusi untuk memerdekaan Indonesia.

Ende bukanlah Jawa, dimana Bung Karno selalu berteriak lantang dalam orasinya bagai singa podium. Namun lewat naskah-naskah sandiwara yang ditulis dan dipentaskan itu, Bung Karno mampu merasuki jiwa kaum muda di Ende untuk terus berjuang tanpa ada kata menyerah. Sandiwara-sandiwara yang ditulis oleh Bung Karno di Ende antara lain: Rendo, Rahasia Kelimutu, Jula Gubi, Koetkoetbi, Anak Haram Djadah, Maha Iblis, Aero-Dynamiet, Dr. Sjaitan, Amoek, Sanghai Rumba, Ngera Ende dan Indonesia ’45.

Naskah Tonil atau sandiwara-sandiwara yang ditulis oleh Bung Karno, selalu memiliki hubungan yang erat diantara satu dengan yang lainnya serta merupakan kelanjutan cerita dari yang sebelumnya. Misalnya dalam sandiwara “Dr. Sjaitan,” “Kutkutbi,” dan “Aero Dinamit” selalu berkaitan dan ada suatu hal yang tidak disadari adalah seperti ramalan hari kemerdekaan Republik Indonesia. Dr. Sjaitan adalah seorang dokter yang membangun sebuah laboratorium dengan tujuan khusus yaitu; menghidupkan orang yang sudah meninggal. Para pekerja di laboratorium itu termasuk dokternya, berjumlah delapan orang (bulan kemerdekaan Indonesia?). Laboratorium itu memiliki sebuah pipa yang panjangnya empat puluh lima meter (tahun kemerdekaan Indonesia?). Di dalamnya terdapat sebuah meja operasi yang ditutupi kain warna putih. Setiap mayat yang dibawa ke sana untuk diambil bagian tubuhnya, diletakkan di atas meja operasi dan ditutupi kain warna merah (kedua warna bendera Indonesia?). Misi Dr. Sjaitan adalah hendak membentuk seorang manusia baru yang berasal dari kumpulan bagian tubuh yang berbeda dari orang-orang yang telah meninggal. Untuk menjalankan misinya, Dr. Sjaitan dibantu oleh seorang mantri atau pembantu dokter. Dalam lanjutan ceritanya; setelah bagian tubuh yang lainnya telah siap, kini tinggal tangan kanan yang masih harus ditemukan. Tiba-tiba datang khabar bahwa ada seorang yang baru saja meninggal, dan pembantu dokter menjelaskan bahwa tempat orang meninggal tersebut berada di satu tempat antara Km 16 dan Km 18 (angka antara 16 dan 18 adalah 17 – tanggal kemerdekaan Indonesia?). Mayat tersebut lalu dibawa ke meja operasi dan diambil tangan kanannya untuk ditambahkan pada sosok manusia baru yang siap untuk dihidupkan. Sosok manusia mati ini akhirnya dihidupkan dengan bantuan setrum ilahi yang berasal dari kilat dan guntur yang dihubungkan ke meja operasi melalui kabel yang dipasang pada pipa raksasa yang menjulang tinggi ke langit. Manusia baru ini diberi nama robot. Cerita tentang robot ini dilanjutkan dalam sandiwara yang berjudul “Kutkutbi.” Kutkutbi yang tidak lain adalah robot yang hidup, di dalam dirinya terdapat energi supranatural yang bukan main besarnya sehingga setiap tempat yang dilaluinya termasuk sawah, kebun, maupun rumah masyarakat sekitar pasti musnah dan hancur berantakan. Masyarakat pun beramai-ramai melakukan protes terhadap sang dokter yang menciptakan Kutkutbi atau sang robot tersebut. Dokter kemudian menemukan ide untuk menghancurkan robot ciptaannya itu. Selanjutnya kisah penghancuran robot ini diceritakan dalam sandiwara yang berjudul “Aero Dinamit”. Pertama sang dokter menyuntik robot dengan racun namun tidak mempan. Siapa yang memegang sang robot akan terkena racun yang sama. Maka sang dokter memutuskan untuk menciptakan sebuah dinamit yang dapat menghancurkan sang robot. Tepat pada jam 12 siang, sang robot datang untuk makan dengan menggunakan sebuah pipa. Dinamit telah diletakkan di dekat tempat makannya, dan ketika sang robot sedang makan dinamit itu pun diledakkan maka robot itu pun hancur.
Seperti tiga sandiwara Bung Karno yang berkelanjutan di atas, begitu juga sandiwara-sandiwaranya yang lain. Nafas utama dari semua sandiwara yang ditulisnya adalah: nafas revolusi dengan tujuan ganda, yaitu: sebagai sarana pendidikan politik bagi masyarakat, sekaligus sebagai lokomotif yang membangkitkan semangat perjuangan dalam diri mereka. Setelah Bung Karno dipindahkan ke Bengkulu pada tahun 1938, ada beberapa sandiwara yang dipentaskan kembali di Ende dengan mendapat persetujuan langsung dari Bung Karno.

Bung Karno bagi sahabat-sahabatnya dan bangsa Indonesia adalah seorang pemersatu. Keistimewaan Bung Karno lainnya yang ditanamkan dalam diri para sahabatnya di Ende adalah sikap keterbukaan, kerja keras dan pantang menyerah. Beliau akan dengan terus terang menegur dan memarahi sahabatnya yang malas atau kedapatan melakukan kesalahan. Semua itu dilakukan Bung Karno dengan tulus dan terus terang.
Kepada para sahabatnya, beliau selalu menekankan semangat kerja keras agar tidak selalu tunduk pada penjajah. Pada saat hendak meninggalkan Ende, Bung Karno berpesan khusus kepada para sahabatnya untuk terus bekerja keras agar dapat membayar pajak kepada pemrintah Belanda. Apabila tidak maka mereka harus bekerja kasar untuk kepentingan penjajah sebagai resiko dari tidak membayar pajak.
Ketekunan adalah juga salah satu sikap yang menonjol dari diri Bung Karno. Dari ketekunan inilah lahir sikap kerja keras dan perjuangan yang tidak mengenal lelah, termasuk untuk memerdekakan Indonesia.

Waktu memang terus bergulir, tapi waktu takkan pernah bisa mengubur semua kenangan  kehidupan Bung Karno bersama masyarakat kota Ende. Kecuali memang sengaja dilupakan.-

Hormat & Salam dari Penulis.
*** Kritik & Saran dari Pembaca sangat diharapkan demi penyempurnaan tulisan ini.

Sumber : BUNG KARNO dan PANCASILA – Ilham Dari Flores Untuk Nusantara.
                    
         

1 komentar:

  1. Membaca tulisan ini terharu ketika kita mengenang semua Jasa Bung Karno. Namun untuk generasi sekarang kepada para anak didik perlu dibekali dan diajarkan tentang sejarah ini untuk selanjutnya dilakonkan atau didramakan semua anak didik pada setiap sekolah agar Gedung Imaculata Ende bisa dimanfaatkan secara baik dan tidak mubasir.

    BalasHapus

Silakan coment, tapi jangan lupa untuk di share ya.