Dengan semangat Proklamasi 17 Agustus 1945, kita bekerja keras untuk
kemajuan bersama, kita tingkatkan pemerataan hasil-hasil pembangunan
untuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Udjan Verny
Selasa, 14 Agustus 2012
Rabu, 08 Agustus 2012
BUNG KARNO, ENDE & NASKAH TONIL : Semangat Revolusi & Ramalan Kemerdekaan Republik Indonesia.
Kemerdekaan
yang kita nikmati sejak 67 tahun lalu hingga saat ini, akan terasa begitu kosong
bila kita tidak mengetahui dari mana awalnya dan bagaimana gerakan perjuangan
itu sampai pada detik-detik menjelang berkumandangnya Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia hingga ke semua penjuru dunia.
Ende, sebuah
kota kecil dibagian tengah Pulau Flores – NTT tidak bisa terpisahkan begitu
saja dari sejarah kemerdekaan negeri ini. Kota kecil ini bukanlah Jawa pada
saat itu, tapi masyarakat dan kehidupan kota kecil ini telah banyak memberikan
inspirasi dalam gerakan revolusi seorang Bung Karno sampai pada puncaknya tanggal:
17 Agustus 1945.
Kota Ende
adalah tempat dimana Bung Karno menjalani masa pembuangannya sebagai tahanan
politik pemerintah Hindia Belanda dari tahun 1934 s/d 1938. Alangkah berdosanya
sebagian masyarakat negeri ini yang tidak mengetahui bagaimana Kota Ende yang
adalah rentetan skenario dan napak tilas perjuangan salah seorang pendiri
negeri ini. Saat-saat pertama menjalani kehidupan di Ende, Bung Karno merasakan
seolah berada di ujung dunia dan semangat revolusinya bagai berada dalam
kurungan. Namun irama hidup perjuangan seorang Bung Karno, telah membuatnya mampu
merubah situasi sulit ini dengan berbagai kegiatan untuk mengumpulkan kekuatan
revolusi yang baru.
Klub Tonil
Kelimutu adalah nafas perjuangan Bung Karno di Ende. Bersama rakyat kecil yang
tidak mengerti apa-apa, Bung Karno seolah membangun sebuah benteng pertahanan
rahasia yang tidak pernah terdeteksi oleh pemerintah Belanda. Bung Karno
membentuk komunitas masyarakatnya sendiri yang hanya terdiri dari para petani
dan pemetik kelapa, para nelayan dan para pemuda yang tidak mempunyai
pekerjaan. Bersama masyarakat sederhana yang tidak mengerti apa-apa tentang
politik inilah Bung Karno membangun sebuah kekuatan baru.
Dengan terbentuknya
Klub Tonil Kelimutu ini, Bung Karno menanamkan semangat perjuangan ke dalam diri
sahabat-sahabatnya. Harapan akan suatu bangsa yang merdeka dan Indonesia yang
berdaulat semakin dikobarkannya dan menyala-nyala dilubuk jiwa mereka.
Kesibukan baru pun mulai dijalani Bung Karno dengan menulis naskah-naskah
sandiwara yang ia pentaskan bersama komunitas kecilnya. Kecil dalam jumlah tapi
semangat mereka bagai karang yang menantang ombak. Selama masa pembuangannya di
Ende antara tahun 1934 – 1938, Bung Karno menulis 12 naskah sandiwara yang
semuanya bernafaskan revolusi untuk memerdekaan Indonesia.
Ende bukanlah
Jawa, dimana Bung Karno selalu berteriak lantang dalam orasinya bagai singa
podium. Namun lewat naskah-naskah sandiwara yang ditulis dan dipentaskan itu,
Bung Karno mampu merasuki jiwa kaum muda di Ende untuk terus berjuang tanpa ada
kata menyerah. Sandiwara-sandiwara yang ditulis oleh Bung Karno di Ende antara
lain: Rendo, Rahasia Kelimutu, Jula
Gubi, Koetkoetbi, Anak Haram Djadah, Maha
Iblis, Aero-Dynamiet, Dr. Sjaitan, Amoek, Sanghai
Rumba, Ngera Ende dan Indonesia ’45.
Naskah Tonil
atau sandiwara-sandiwara yang ditulis oleh Bung Karno, selalu memiliki hubungan
yang erat diantara satu dengan yang lainnya serta merupakan kelanjutan cerita
dari yang sebelumnya. Misalnya dalam sandiwara “Dr. Sjaitan,” “Kutkutbi,” dan “Aero
Dinamit” selalu berkaitan dan ada suatu hal yang tidak disadari adalah seperti ramalan
hari kemerdekaan Republik Indonesia. Dr. Sjaitan adalah seorang dokter
yang membangun sebuah laboratorium dengan tujuan khusus yaitu; menghidupkan
orang yang sudah meninggal. Para pekerja di laboratorium itu termasuk
dokternya, berjumlah delapan orang (bulan kemerdekaan Indonesia?).
Laboratorium itu memiliki sebuah pipa yang panjangnya empat puluh lima meter (tahun
kemerdekaan Indonesia?). Di dalamnya terdapat sebuah meja operasi yang
ditutupi kain warna putih. Setiap mayat yang dibawa ke sana untuk diambil
bagian tubuhnya, diletakkan di atas meja operasi dan ditutupi kain warna
merah (kedua warna bendera Indonesia?). Misi Dr. Sjaitan adalah hendak
membentuk seorang manusia baru yang berasal dari kumpulan bagian tubuh yang
berbeda dari orang-orang yang telah meninggal. Untuk menjalankan misinya, Dr.
Sjaitan dibantu oleh seorang mantri atau pembantu dokter. Dalam lanjutan
ceritanya; setelah bagian tubuh yang lainnya telah siap, kini tinggal tangan
kanan yang masih harus ditemukan. Tiba-tiba datang khabar bahwa ada seorang
yang baru saja meninggal, dan pembantu dokter menjelaskan bahwa tempat orang
meninggal tersebut berada di satu tempat antara Km 16 dan Km 18 (angka
antara 16 dan 18 adalah 17 – tanggal kemerdekaan Indonesia?).
Mayat tersebut lalu dibawa ke meja operasi dan diambil tangan kanannya untuk
ditambahkan pada sosok manusia baru yang siap untuk dihidupkan. Sosok manusia
mati ini akhirnya dihidupkan dengan bantuan setrum ilahi yang berasal dari
kilat dan guntur yang dihubungkan ke meja operasi melalui kabel yang dipasang
pada pipa raksasa yang menjulang tinggi ke langit. Manusia baru ini diberi nama
robot. Cerita tentang robot ini dilanjutkan dalam sandiwara yang berjudul “Kutkutbi.”
Kutkutbi yang tidak lain adalah robot yang hidup, di dalam dirinya terdapat
energi supranatural yang bukan main besarnya sehingga setiap tempat yang
dilaluinya termasuk sawah, kebun, maupun rumah masyarakat sekitar pasti musnah
dan hancur berantakan. Masyarakat pun beramai-ramai melakukan protes terhadap sang
dokter yang menciptakan Kutkutbi atau sang robot tersebut. Dokter kemudian
menemukan ide untuk menghancurkan robot ciptaannya itu. Selanjutnya kisah
penghancuran robot ini diceritakan dalam sandiwara yang berjudul “Aero Dinamit”.
Pertama sang dokter menyuntik robot dengan racun namun tidak mempan. Siapa yang
memegang sang robot akan terkena racun yang sama. Maka sang dokter memutuskan
untuk menciptakan sebuah dinamit yang dapat menghancurkan sang robot. Tepat
pada jam 12 siang, sang robot datang untuk makan dengan menggunakan sebuah
pipa. Dinamit telah diletakkan di dekat tempat makannya, dan ketika sang robot
sedang makan dinamit itu pun diledakkan maka robot itu pun hancur.
Seperti tiga
sandiwara Bung Karno yang berkelanjutan di atas, begitu juga
sandiwara-sandiwaranya yang lain. Nafas utama dari semua sandiwara yang ditulisnya
adalah: nafas revolusi dengan tujuan ganda, yaitu: sebagai sarana pendidikan
politik bagi masyarakat, sekaligus sebagai lokomotif yang membangkitkan
semangat perjuangan dalam diri mereka. Setelah Bung Karno dipindahkan ke
Bengkulu pada tahun 1938, ada beberapa sandiwara yang dipentaskan kembali di
Ende dengan mendapat persetujuan langsung dari Bung Karno.
Bung Karno
bagi sahabat-sahabatnya dan bangsa Indonesia adalah seorang pemersatu.
Keistimewaan Bung Karno lainnya yang ditanamkan dalam diri para sahabatnya di
Ende adalah sikap keterbukaan, kerja keras dan pantang menyerah. Beliau akan
dengan terus terang menegur dan memarahi sahabatnya yang malas atau kedapatan
melakukan kesalahan. Semua itu dilakukan Bung Karno dengan tulus dan terus
terang.
Kepada para
sahabatnya, beliau selalu menekankan semangat kerja keras agar tidak selalu
tunduk pada penjajah. Pada saat hendak meninggalkan Ende, Bung Karno berpesan
khusus kepada para sahabatnya untuk terus bekerja keras agar dapat membayar
pajak kepada pemrintah Belanda. Apabila tidak maka mereka harus bekerja kasar
untuk kepentingan penjajah sebagai resiko dari tidak membayar pajak.
Ketekunan
adalah juga salah satu sikap yang menonjol dari diri Bung Karno. Dari ketekunan
inilah lahir sikap kerja keras dan perjuangan yang tidak mengenal lelah, termasuk
untuk memerdekakan Indonesia.
Waktu memang
terus bergulir, tapi waktu takkan pernah bisa mengubur semua kenangan kehidupan Bung Karno bersama masyarakat kota
Ende. Kecuali memang sengaja dilupakan.-
Hormat
& Salam dari Penulis.
*** Kritik & Saran dari Pembaca sangat diharapkan demi penyempurnaan tulisan ini.
*** Kritik & Saran dari Pembaca sangat diharapkan demi penyempurnaan tulisan ini.
Sumber : BUNG
KARNO dan PANCASILA – Ilham Dari Flores Untuk Nusantara.
Minggu, 05 Agustus 2012
Para Veteran di antara Pengabdian dan Pahlawan
Pada waktu SMP dahulu, seorang guru saya pernah
menyatakan bahwa “hanya para pejuang kemerdekaan saja yang dapat menghormat
bendera merah putih dengan sikap tegap dan penuh penghayatan”. Pernyataan
itu memang sebuah sindiran guru kepada muridnya yang pada waktu upacara bendera
pada saat pengibaran bendera tampak sikap “ogah-ogahan” dalam menghormat
bendera.
Memang benar ucapan guru saya itu. Pejuang kemerdekaan
adalah saksi hidup bahwa perjuangan mengusir penjajah adalah suatu yang berat,
tidak hanya mengorbankan harta, raga sekalipun akan akan diberikan. Maka dengan
demikian perjuangan yang telah dilakukan akan membekas, dan tidak heran jika
dalam memperlakukan bendera merah putih akan begitu menghormat. Sikap seperti
itu bisa kita lihat dari para pejuang yang masih tersisa yaitu para veteran
kemerdekaan.
Pada saat ini, jika dilihat dari nasib para pejuang
kemerdekaan berada berbagai variasi di dalamnya, ada yang bernasib baik tetapi
tidak sedikit pula yang masih mengenaskan. Beberapa veteran yang bernasib baik
dapat dijumpai menjadi pejabat atau pengusaha, di lain sisi ada juga yang untuk
makan keseharian saja cukup sulit apalagi untuk hal lainnya seperti masalah
kesehatan atau rumah tinggal.
Dilihat dari kaca mata pengabdian apakah ada yang
salah dari keadaan tersebut?. Sejatinya namanya perjuangan dan pengabdian
memang tidak menuntut balas apa yang telah dilakukannya. Perjuangan yang
dilakukannya demi semata-mata untuk dipersembahkan kepada negeri yang di
cintainya itu. Maka benar pula apa yang dikatakan mendiang Presiden Amerika,
Jhon F Kennedy, “Jangan tanya apa negara berikan kepadamu, tapi tanya apa
yang telah kau berikan kepada negara”.
Dari keadaan para veteran yang masih memprihatinkan
itu, bisa jadi memang tidak ada perhatian yang serius dari pemerintah dan
rekan-rekan sejawatnya. Tetapi dengan melihat mereka tetap tegar dan tidak
berkeluh-kesah justru itulah yang menjadi nilai lebih bagi veteran itu. Hal itu
menunjukkan betapa tulusnya perjuangannya itu, beruang tanpa harus dapat apa
nanti terkecuali dapat bebas dari penjajah. Penghargaan kepada negeri yang
diperjuangkan seperti terdengar dalam lagu nasional, Padamu Negeri, “Padamu
negeri kami berjanji, padamu negeri kami berbakti, padamu negeri kami mengabdi,
bagimu negeri jiwa raga kami”.
***
Setelah merdeka, cerita-cerita heroik banyak meluncur
dari para veteran itu. Bukan untuk apa, sebagai sebuah pelajaran berharga bagi
anak cucu agar menjaga dan mengisi kemerdekaan yang direbut dengan susah payah
itu. Mendengar dan membaca cerita tidaklah sama dengan mengalaminya sendiri.
Jelas para veteran itu adalah para pahlawan kemerdekaan yang masih hidup. Untuk
itulah sebagai generasi penerus dan negara selayaknya menghargai jerih
payahnya, walaupun tanpa diminta.
Ungkapan kata bijak perlu mendapat perhatian, “Bangsa
yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya”. Pemerintah
dan kita juga, disadari atau tidak kurang menghargai jasa pahlawan itu.
Penghargaan bukan berarti memberikan tanda jasa atau monument, tetapi dalam
bentuk perhatian dan perlakuan yang layak. Perhatian yang yang paling kongkrit
adalah tidak membiarkan para veteran itu hidup dalam keadaan terlunta-lunta.
Paling tidak perlu diperhatikan tercukupi kebutuhan primernya, pangan, sandang,
dan papan.
Penghargaan yang paling esensi dalah menjaga negeri
ini dengan baik, yaitu tidak “mengkhianati” nilai perjuangan dengan tidak
korupsi, menjarah, serta tindakan yang tidak terpuji lainnya. Bagi generasi
muda selain belajar dengan giat untuk mengisi kemerdekaan, juga meresapi dan
mengenang perjuangan para pahlawan kemerdekaan itu. Dengan demikian maka kita
pun dapat menghormat bendera merah putih tersebut dengan dengan tegap dan penuh
penghayatan, seperti yang dilakukan para veteran itu
Sumber: Kompasiana.com
Jumat, 03 Agustus 2012
ASAL USUL SUKU UJAN DI BAKAN, KOLILEREK, KALIKASA DAN SEKITARNYA.
Mengenai asal usul suku Ata Ujan, belum pernah ditemukan sebuah naskah atau tulisan ilmiah tentang hal ini baik secara nasional maupun lokal. Oleh karena itu, dari cerita turun temurun maka dikumpul dan dikemas dalam tulisan sederhana ini tapi tetap dengan gaya bercerita maksudnya untuk membantu putra putri Ata Ujan mengetahui asal usulnya ditengah kehidupan modern dewasa ini.
Secara garis besar, asal usul suku Ata Ujan dapat digambarkan sbb:
- Suku Ata Uja adalah bagian dari suku-suku Lamaholot yang tersebar di Flores Timur, Adonara, Solor dan Lembata.
- Ada yang berpendapat bahwa mereka berasal dari Seram Goran, yaitu sebuah pulau kecil dekat Pulau Seram yang berarti Seram Kecil. Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa mereka berasal dari pelarian bencana tengelamnya pulau Lepan Batan di ujung timur Pulau Lembata; dan ada juga yang berpendapat bahwa suku Ujan juga berasal dari pelarian bencana Pulau Awololon.
Menurut cerita turun temurun, di Bakan ada 4 suku yang asalnya: Da Belo atau keluar dari lubang tanah tempatnya di Waiwawer Ataura. Awal mulanya orang-orang yang keluar pertama lalu duduk di atas Bliko atau pematang karena itu mereka disebut Blikololo. Orang kelompok kedua keluar dari lubang tanah dan duduk di atas Klamak maka mereka di sebut Lamakrajan. Kelompok orang ketiga keluar dari lubang tanah dan duduk di bawah pohon Kresaj maka mereka di beri nama Kresaor. Kelompok orang terakhir yang keluar dari lubang tanah dan duduk di bawah pohon Uja maka mereka di beri nama Ata Uja.
Dari kelompok orang-orang yang keluar dari dalam tanah ini keluar juga seorang ibu hamil dan seekor babi, tapi ibu hamil ini tidak dapat keluar karena lubang tanah itu telalu kecil maka ibu hamil tersebut akhirnya tertimbun tanah kembali atau yang di sebut Enan Nebeta. Sedangkan babi itu digunakan oleh orang-orang tersebut untuk berpesta karena mereka sudah diselamatkan. Maka tempat dimana mereka keluar itu disebut Waiwawer (air dan babi) karena ditempat itu terdapat seekor babi dan mata air.
Setelah bepesta mereka meninggalkan Waiwawer ke Waikokol lalu berkelana terus di atas perbukitan Ile Kerbau dan akhirnya sampai di Giwanobeng ( diatas Lewaji).
Di tempat itu terdengar ayam berkokok dan anjing-anjing melolong mereka pun akhirnya menuju ketempat itu dan ternyata disitu ada orang yang bemukim. Mereka pun saling berkenalan dan tinggal beberapa hari di tempat itu. Setelah tinggal beberapa hari di tempat itu orang-orang itu memutuskan untuk melanjutkan perjalanan mereka.tetapi sebelum mereka meninggalkan tempat itu mereka makan pesta besama-sama .Setelah makan-makan bersama orang-orang yang mau ditinggalkan tidak bisa berbuat apa-apa dengan sisa makanan pesta itu, maka orang-orang yang bekelana itu yang membagi-bagikan sisa makanan itu diantara mereka. Karena itu orang-orang yang di tinggalkan itu disebut Lewaji (lewu adik). Mereka lalu meneruskan perjalanan dan beristirahat di sebuah tempat. Disitu mereka makan daging dari seekor kambing yang adalah pemberian dari orang-orang Lewaji. Daging itu dimakan dengan cara dibakar, oleh karena itu tampat tersebut diberi nama Tuno Witeru (Bakar kambing). Mereka pun berjalan terus sampai disebuah tempat yang mereka beri nama Peni Tobe. Disini mereka terpaksa bermukim dan membangun tempat tinggal, setelah beberapa lama menetap mereka merasa tidak aman karena selalu ada anak-anak kecil yang hilang ketika mereka bermain sendirian atau ditinggal pergi sebentar oleh orang tua mereka. Oleh karena itu mereka semua sepakat mencari tau apa yang menjadi penyebab dari masalh tersebut. Akhirnya diketahui bahwa ternyata di dekat itu ada penunggu yang mengambil anak-anak mereka. Mereka pun akhirnya meminta bantuan dukun dari sebuah kampung di sebelah selatan yaitu Udak, untuk melakukan seremonial pembukaan hutan baru untuk dijadikan pemukiman yang dikenal dengan Bakan sekarang ini.
Dengan demikian terlihat jelas bahwa ada 4 suku asli di Bakan yaitu: Blikololong, Lamakrajan, Ata Uja, dan Kresaor.kemudiaan datang lagi suku lain dari Udak yaitu suku Ujan /Ata Uja dan suku Wuwur datang dari pelarian bencana Awololon. Untuk membedakan dua kelompok suku Ujan di Bakan maka suku Ujan asli di beri nama: Ujan Wailolo karena mereka diberi tempat diatas mata air dimana mata air itu di sebut Waiuja. Sedangkan suku Ujan yang berasal dari Udak di beri nama suku Ujan Batukoti karena mereka ditempatkan di dekat tempat permainan Batukoti (nama sebuah permainan masyarakat setempat). Begitu pun suku-suku yang lainnya di beri tempat sesuai dengan kesepakatan bersama.
Berdasarkan cerita di atas maka dapat di tarik kesimpulan bahwa suku Ujan yang berada di Bakan, Kolilerek, Kalikasa dan sekitarnya berasal dari dua kelompok yang berbeda yaitu suku Ujan asli dari Bakan dan suku Ujan yang datang dari Udak.-
Narasumber:
- Bapak Alm. Liku Ujan di Bakan.
- Bapak Simon Laga Ujan di Bakan.
- Bapak Mathias Balan Ujan di Kolilerek.
Senin, 30 Juli 2012
SKRIPSI - Fungsi Museum Bung Karno Ende Sebagai Suatu Tempat Pelestarian Benda-Benda Bersejarah Kabupaten Ende.
ABSTRAK
VERNIANA MAGDALENA NULAF,
0723002, Fungsi Museum Bung Karno Ende Sebagai Suatu Tempat Pelestarian
Benda-Benda Bersejarah Kabupaten Ende.
Skripsi Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Veteran Republik Indonesia - Makasar, 2011.
Penulisan skripsi ini telah
melalui tahap penelitian yang bertujuan untuk menggali dan menguraikan fungsi
Museum Bung Karno Ende sebagai suatu tempat pelestarian benda-benda bersejarah
Kabupaten Ende serta fungsinya bagi dunia pendidikan khususnya pendidikan ilmu
sejarah; dan juga memperkenalkan kepada masyarakat tentang Museum Bung Karno
Ende serta nilai sejarah dibalik berdirinya museum ini.
Penelitian dan penulisan
skripsi ini bersifat deskriptif historis dengan menggunakan metode sejarah
yaitu: heuristik atau tahap pengumpulan data sebanyak-banyaknya dari berbagai
sumber; kritik yang bertujuan untuk
menentukan dan menilai keaslian sumber data yang kita kehendaki; interpretasi yaitu menentukan kedudukan fakta
sejarah secara proporsional; dan historiografi yang adalah merupakan tahap
akhir dari seluruh rangkaian metode penelitian ini yakni merangkai fakta-fakta
dan kisah sejarah menjadi sebuah tulisan yang obyektif.-
KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur
penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa sebagai sumber segala sesuatu
yang mulia dan bijak, karena hanya atas rahmat dan kasih karunia serta
berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini.
Penulisan karya
ilmiah ini dilaksanakan sebagai salah satu syarat yang harus penulis penuhi
guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan di Universitas Veteran Republik
Indonesia (UVRI) Makassar. Meski melalui perjalanan yang panjang dan
melelahkan, tapi atas bantuan, dukungan, kritik, saran serta doa dari semua
pihak sehingga akhirnya penulis dapat melewati berbagai tantangan yang ada
sejak dimulainya pemilihan judul sampai pembuatan proposal penelitian dan dapat
melaksanakan penelitian sampai pada akhirnya karya ilmiah dalam bentuk skripsi
ini bisa terselesaikan dengan baik.
Tidak lupa penulis
menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan kepada
semua pihak yang telah membantu dan membimbing penulis dalam menempuh
pendidikan sampai pada tahap penyusunan hasil penelitian ini. Ucapan terima
kasih dan penghargaan sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada :
- Bapak Dr.Syamsu A. Kamaruddin,M.Si selaku Rektor Universitas Veteran Republik Indonesia Makassar.
- Bapak Dr.H.Rivai Mana,M.Si selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Veteran Republik Indonesia Makassar.
- Bapak Dr.H.Rivai Mana,M.Si selaku Konsultan I dan Bapak Drs.Ruben Girikan,S.Pd,M.Si selaku Konsultan II yang telah banyak memberikan bimbingan dan koreksi yang sangat berarti bagi penulis dalam proses penyusunan skripsi ini.
- Bapak Sudirman Muhammadiyah,S.Pd,M.Si selaku Ketua Jurusan PIPS Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Veteran Republik Indonesia Makassar.
- Ibu Dra. Darmawati,M.Pd selaku Ketua Program Studi Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Veteran Republik Indonesia Makassar.
- Segenap Dosen dan Karyawan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UVRI Makassar.
Dari lubuk
hati yang paling dalam, terukir indah ungkapan rasa terima kasih yang secara
khusus penulis persembahkan buat Ayah dan Ibu tercinta; Ayah Vicktor Rubo (alm)
dan Ibu Bernadete Wa serta Bapak Mathias Balan Udjan atas doa dan pengorbanan tiada
henti demi kesuksesan penulis dalam mengarungi buana pendidikan sampai pada saat
ini.
Terima kasih buat kakak tercinta, Kak Marlyn
Udjan, Kak Wens, dan juga Kak Esi atas segala bentuk dukungannya disetiap
keadaan telah membantu penulis baik moril maupun materil sehingga penulis
dapat menyelesaikan pendidikan disetiap
jenjang dengan baik. Tidak lupa penulis sampaikan rasa terima kasih buat Kak Kon
Udjan, Kak Rince, dan Kak Stefon Udjan serta semua keluarga yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu atas dukungannya. Terima kasih juga buat Kak Jhon
Udjan dan Kak Lin, serta Kak Lorens Blikon atas bantuan dan pengorbanannya
selama ini. Untuk semua teman seperjuangan SEJARAH’ 07; buat sahabatku Erthin, Charnie,
Goris dan semua yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu; terima kasih
buat adik-adik Relyn, Shanti, dan Ony atas dukungannya selama ini.
Terima kasih
buat kakak tersayang Liaryanz Agustinus yang tiada henti memotivasi penulis dan untuk semua usaha
tanpa kenal lelah telah membantu penulis sejak pengajuan proposal sampai ke
tahap penelitian dan pada akhirnya karya ilmiah ini dapat terselesaikan dengan
baik.
Meski
dalam kekurangan dan keterbatasan, penulis berharap karya ilmiah ini dapat
dinikmati dan bermanfaat bagi pembaca dan masyarakat pencinta sejarah. Akhir
kata, semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan rahmat-Nya dalam setiap
aktivitas dan karya kita. Amin.
Makassar,
Juni 2011
Penulis
Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Penelitian
Sebagaimana telah diatur
dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 32 yang menegaskan bahwa “Pemerintah
memajukan kebudayaan nasional Indonesia” dan didalam penjelasannya antara lain
menyatakan bahwa “Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya
dan persatuan, dengan tidak menolak bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat
memperkembangkan atau memperkaya
kebudayaan bangsa sendiri serta mempertinggi derajat kemanusiaan
Indonesia"
Dalam Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Nomor: II/MPR/1998 tentang Garis-Garis Besar Haluan
Negara juga menegaskan bahwa kebudayaan Indonesia yang mencerminkan nilai-nilai
luhur bangsa harus dipelihara, dibina dan dikembangkan guna memperkuat
kepribadian bangsa, mempertebal rasa harga diri dan kebanggaan nasional, dan
memperkokoh jiwa persatuan dan kesatuan bangsa serta mampu untuk menjadi
penggerak bagi perwujudan cita-cita bangsa di masa yang akan datang.
Benda-benda peninggalan
sejarah mempunyai arti penting bagi kebudayaan bangsa khususnya untuk memupuk
rasa kebanggaan nasional serta memperkokoh rasa kebangsaan serta kesadaran jati
diri bangsa, oleh karena itu benda cagar budaya wajib dilindungi sebagai
warisan budaya bangsa Indonesia berdasarkan peraturan dan perundang-undangan
yang berlaku seperti yang tertuang dalam peraturan pemerintah UU Nomor: 05
Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.
Benda peninggalan sejarah
suatu bangsa adalah hasil ciptaan bangsa itu sendiri pada masa lampau yang
menjadi sumber kebanggaan bangsa yang bersangkutan. Oleh karena itu pelestarian
benda-benda bersejarah merupakan ikhtiar jati diri suatu bangsa. Kesadaran jati
diri suatu bangsa banyak dipengaruhi oleh pengetahuan tentang masa lalu bangsa
yang bersangkutan, sehingga keberadaan bangsa itu sendiri pada masa kini dan
dalam proyeksinya ke masa depan tetap bertahan pada ciri khasnya sebagai bangsa
yang tetap berpijak pada landasan falsafah dan budayanya sendiri.
Pada dasarnya masa kini
adalah proyeksi masa lalu, dan masa kini hadir dari suatu proses perjalanan
sejarah yang sangat panjang dan kompleks. Kehadiran masa kini tidak terlepas
dari perjalanan manusia itu sendiri seperti bagaimana mempeerlakukan alam untuk
pemanfaatan hidupnya yang penuh dengan peristiwa yang senang dan pahit menuju
kesempurnaan sesuai dengan panggilan kodrat dan martabatnya sebagai makhluk
ciptaan Tuhan yang paling unggul di muka bumi ini.
Pengenalan sejarah
merupakan kenyataan manusiawi yang dapat ditelusuri sejak perkembangan manusia
yang paling dini, sejauh masa itu meninggalkan jejak- jejaknya dalam suatu
perwujudan tertentu. Dari goresan berupa tulisan atau lukisan sampai dengan
jejak berupa dokumen dan monumen adalah merupakan bukti nyata manusia pada
suatu masa.
Kenyataan masa lampau dapat
kita lihat dari benda-benda atau koleksi benda-benda yang masih tersimpan
sampai saat ini. Keberadaannya membawa makna nyata terutama untuk menyingkap
setiap peristiwa pada masa lampau sekaligus sebagai barometer untuk melihat
ketinggian martabat suatu bangsa.
Upaya pelestarian benda-benda
bersejarah dilaksanakan selain untuk memupuk rasa kebangsaan nasional dan
memperkokoh jati diri sebagai bangsa yang berdasarkan Pancasila; juga untuk kepentingan perkembangan ilmu
pengetahuan serta pemanfaatan lain dalam rangka kepentingan nasional.
Untuk melestarikan benda- benda
bersejarah dimaksud, sudah barang tentu diperlukan sarana atau alat yang dapat
menunjang kelestarian benda tersebut. Oleh karena itu pelestarian benda-benda
bersejarah sangat erat kaitannya dengan keberadaan suatu museum. Bertolak dari
konteks pemikiran itulah penulis melakukan suatu kajian ilmiah dengan
mengadakan penelitian yang berkaitan dengan museum dan pelestarian benda-benda
bersejarah dengan mengambil sebuah topik yaitu: Fungsi Museum Bung Karno Ende
Sebagai Suatu Tempat Pelestrian Benda- Benda Bersejarah Kabupaten Ende.
Adapun alasan penulis memilih judul
tersebut diatas adalah :
1.
Bahwa
pada dasarnya museum adalah suatu lembaga yang secara khusus mengemban tugas,
bukan hanya sebatas mengumpulkan barang antik saja melainkan mengumpulkan,
merawat, mencatat, meneliti, memamerkan dan menerbitkan berbagai hasil temuan
dan galian benda-benda budaya yang merupakan hasil daya cipta, rasa, dan karsa
manusia pada masa lampau maupun dalam kaitan dengan peningkatan mutu pemahaman
terhadap disiplin ilmu sejarah.
2.
Bahwa
eksistensi Museum Bung Karno di Kabupaten Ende sangat erat kaitannya dengan
upaya pemerintah setempat dalam memelihara berbagai aspek kebudayaan dimasa
lampau yang merupakan ciri khas dan peradaban masyarakat setempat.
3.
Bahwa
Museum Bung Karno di Kabupaten Ende adalah merupakan wujud nyata tentang upaya
pelestarian benda- benda bersejarah yang dapat dijadikan sebagai sumber belajar
dan obyek rekreasi yang edukatif terutama tentang peninggalan sejarah di
Kabupaten Ende bagi pelajar, mahasiswa dan masyarakat umum peminat sejarah.
4.
Penulis
tertarik mengangkat masalah ini kepermukaan mengingat bahwa Museum Bung Karno
di Kabupaten Ende disamping sebagai tempat koleksi atau upaya pelestarian
benda-benda bersejarah juga mempunyai latar belakang sejarah yang menarik untuk
dikembangkan karena museum ini merupakan bekas tempat tinggal Bung Karno –
Presiden I RI dan keluarga pada masa pembuangannya oleh Pemerintah Hindia
Belanda.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang dan uraian tersebut diatas maka yang
menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1.
Bagaimana
Latar belakang berdirinya Museum Bung karno Ende?
2.
Bagaimana
Pemanfaatan Museum Bung karno Ende sebagai sumber belajar bagi pendidikan ilmu
sejarah?
3.
Bagaimana
pelestarian benda-benda bersejarah di Museum Bung Karno Ende?
C. Metode
Penelitian
1. Lokasi
Penelitian.
Untuk memperoleh data dalam
rangka penelitian ini, maka penulis memilih lokasi penelitian pada:
a) Museum Bung Karno Ende.
Lokasi ini berjarak ± 1 km dari pusat Kota Ende, tepatnya
terletak di Jl.Perwira, Kelurahan Kota Raja, Kecamatan Ende Utara, Kabupaten
Ende, Propinsi Nusa Tenggara Timur.
Museum ini merupakan bangunan yang dulunya adalah tempat
tinggal Bung Karno (Presiden I - Republik Indonesia) dan keluarga semasa
pembuangan / pengasingan di Ende oleh Pemerintah Hindia Belanda mulai tanggal: 14
Januari 1934 s/d 18 Oktober 1938.
b) Kantor Dinas Pendidikan,
Pemuda dan Olahraga Kabupaten Ende.
c) Kantor Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Kabupaten Ende.
d)
Kantor
Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Kabupaten Ende.
2.
Jenis dan Sumber
Data.
a) Data Primer.
Data Primer adalah data yang diperoleh secara langsung
tanpa melalui pengantara, misalnya data dari hasil wawancara dan observasi.
b) Data Sekunder.
Data Sekunder adalah data yang diperoleh melalui sumber
lainnya, misalnya data dokumentasi dan arsip mengenai sejarah dan latar
belakang berdirinya Museum Bung Karno di Ende.
3. Teknik
Pengumpulan Data.
Metodologi dalam penulisan sejarah memegang peranan penting. Metode ini
merupakan suatu proses untuk mengkaji
sumber-sumber yang telah dikumpulkan,
selain itu metodologi berfungsi untuk
menganalisis secara kritis dokumen-dokumen atau informasi-informasi yang
telah ada.
Sebagaimana dikemukakan
oleh Nugroho Notosusanto (1971:17), langkah-langkah dalam sebuah penulisan
sejarah adalah sebagai berikut:
a)
Heuristik,
yakni kegiatan menghimpun jejak-jejak masa lampau.
b)
Kritik
sejarah, yakni menyelidiki jejak-jejak itu sendiri baik bentuk maupun isinya.
c)
Interpretasi,
yakni menetapkan makna yang saling berhubungan fakta-fakta yang diperoleh.
d) Penyajian, yakni
menyampaikan sintesa yang diperoleh dalam bentuk suatu kisah.
Sesuai dengan metode
tersebut di atas maka dapat dijelaskan bahwa langkah-langkah dalam melaksanakan penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a) Heuristik.
Dalam
kegiatan ini penulis berusaha mencari dan menghimpun data sebanyak mungkin
berupa jejak masa lampau yang berkaitan dengan masalah yang di teliti. Oleh
karena itu teknik pengumpulan data yang digunakan penulis dalam metode
heuristik ini adalah penelitian lapangan.
Kegiatan
yang dilakukan oleh penulis dalam
penelitian lapangan ini adalah melakukan pengumpulan data yang belum ditemukan
dalam studi pustaka. Kegiatan pada penelitian lapangan adalah melakukan
observasi dan wawancara, serta penelitian kepustakaan. Kegiatan-kegiatan ini
dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Observasi
Observasi berarti melakukan
pengamatan langsung terhadap objek penelitian.
2. Wawancara
Wawancara yang dilakukan penulis adalah mewawancarai
orang-orang yang memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas tentang keberadaan
Museum Bung Karno serta dinas atau instansi terkait. Kegiatan ini untuk
menghimpun keterangan dengan tujuan memperoleh informasi mengenai keberadaan
dan peranan museum itu sendiri.
3.
Penelitian
Kepustakaan (library research).
Kegiatan ini dilakukan dengan mencari dan menghimpun
data-data yang relevan dengan topik penelitian
melalui buku-buku yang dijadikan rujukan. Sumber data dalam penelitian kepustakaan ini
adalah buku-buku.
b)
Kritik
Sumber.
Kritik merupakan tahapan
kedua dari metode historis dimana sumber yang telah terkumpul dianalisa untuk
mendapatkan data yang akurat dan valid baik bentuk maupun isinya. Kritik ini
terdiri atas kritik ekstern dan kritik intern.
Menurut Nugroho Notosusanto
(1971:20) dikatakan bahwa kritik eksternal bertugas menjawab pertanyaan
mengenai sumber;
1. Adakah sumber itu memang
sumber yang kita kehendaki?
2.
Adakah
sumber itu palsu atau tiruan?
3.
Adakah
sumber itu utuh atau telah diubah-ubah?
Kritik intern harus
membuktikan bahwa kesaksian yang dibuktikan oleh sesuatu sumber itu memang
dapat di percaya.
Tujuan kritik seluruhnya
ialah menyeleksi data menjadi fakta karena umumnya data dan fakta dicampuradukan.
Data ialah semua bahan sedangkan fakta ialah semua bahan yang diuji dengan
kritik, jadi fakta-fakta itu sudah terkoreksi.
Penerapan kritik intern dan
ekstern terhadap berbagai sumber sangat penting karena dengan demikian
permasalahan yang dikaji dapat terselesaikan. Dalam penelitian ini kritik
ekstern didahulukan sebelum kritik intern.
Hal ini dimaksudkan apabila
ditemukan perbedaan pendapat atau persepsi sejarah, maka akan didapatkan
fakta-fakta yang memang akurat serta adanya kesamaan sumber dan persepsi.
c)
Interpretasi
atau Penafsiran Data.
Setelah diadakan kritik
ekstern atau kritik intern, maka dapat diadakanlah interpretasi terhadap fakta
sejarah yang diperoleh dalam bentuk penjelasan terhadapa fakta tersebut. Hal
ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Louis Gootchalk (1986:28) sebagai
berikut:
Fakta-fakta itu merupakan
lambang atau wakil dari pada sesuatu yang pernah ada, tetapi fakta itu tidak
memiliki kenyataan obyektif sendiri dengan perkataan lain fakta-fakta itu hanya
terdapat dalam pikiran pengamat atau sejarahwan (dan karenanya dapat disebut
subyektif) untuk dapat dipelajari secara obyektif (yakni dengan maksud
memperoleh pengetahuan yang tidak memihak dan benar bebas dari reaksi pribadi
seorang), sesuatu pertama kali harus menjadi sesuatu yang obyektif ia harus
mempunyai eksistensi yang merdeka diluar pikiran manusia.
Pada
tahap ini sangat diperlukan ketelitian
atau kecermatan serta integritas seorang penulis sejarah untuk menghindari
interpretasi yang subyektif terhadap fakta sejarah. Hal ini dimaksudkan untuk
memberi arti terhadap aspek yang diteliti serta mengkaitkan dengan fakta yang
lainya agar ditemukan kesimpulan atau gambaran peristiwa sejarah yang ilmiah.
d)
Historiografi
atau Penyajian Sejarah.
Tahap ini merupakan tahap
akhir dari keseluruhan kegiatan dalam metode penelitian ini. Kegiatan ini
dilakukan dengan merekonstruksikan data atau merangkai fakta-fakta menjadi
sebuh kisah sejarah yang seobyektif mungkin.
Rangkaian penulisan sejarah
merupakan prosedur kerja terakhir dari metode historis. Menurut Abdullah (1985:19)
sebagai berikut:
Penulisan sejarah adalah
puncak segalanya sebab apa yang ditulis itulah sejarah yakni histoire recite
sejarah sebagaimana yang dikisahkan, yang mencoba mengungkapkan dan memahami
historie recite sebagaimana yang terjadi, dan hasil penulisan itu disebut
dengan historiografi.
Hasil penulisan tersebut
merupakan penulisan sejarah dengan cara menyusun kembali perisriwa-peristiwa
berdasarkan data yang diperoleh sebelumnya kemudian diseleksi melalui kritik lalu
diinterpretasikan yang selanjutnya disajikan secara deskriptif.
4. Teknik
Analisis Data.
Data yang dikumpulkan dalam
penelitian akan dianalisis dengan teknik analisis data deskriptif.
Dalam teknik analisis data
ini, penulis terlebih dahulu menggambarkan mengenai sejarah dan latar belakang
berdirinya Museum Bung Karno Ende kemudian dianalisis mengenai fungsinya
sebagai tempat pelestarian benda-benda bernilai sejarah di Kabupaten Ende.
D. Tujuan
Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1.
Untuk
mengetahui bagaimana Manfaat Museum Bung Karno Ende sebagai salah satu objek
wisata yang edukatif di Kabupaten Ende.
2.
Untuk
mengetahui bagaimana fungsi Museum Bung Karno Ende dalam upaya melestarikan
benda-benda yang bernilai sejarah khususnya di Kabupaten Ende.
3.
Untuk
mengetahui bagaimana pelestarian benda-benda bersejarah di Museum Bung karno
Ende.
E. Manfaat
Penelitian
Manfaat dari
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Dapat
memberikan gambaran tentang Latar belakang berdirinya Museum Bung Karno Ende
dan manfaatnya sebagai sumber belajar untuk Pendidikan ilmu sejarah
2.
Memperkenalkan
kepada masyarakat tentang Museum Bung Karno Ende dan nilai sejarah dibalik
berdirinya museum ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
Fungsi
Menurut
Hasan Alwi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003:332), fungsi didefinisikan
sebagai:
a)
Jabatan
(pekerjaan) yang dilakukan.
b)
Kegunaan
suatu hal.
Menurut Koentjaraningrat
dalam Pengantar Ilmu Antropologi (1990:18) menyatakan bahwa dalam unsur-unsur sejarah sebuah kebudayaan, fungsi dibagi atas 3 yakni:
a) Pemakaian yang menerangkan
hubungan guna antara suatu hal dengan
tujuan tertentu.
b) Pemakaian yang menerangkan
kaitan korelasi antara suatu hal dengan hal yang lain.
c) Pemakaian yang menerangkan
hubungan yang terjadi antara suatu hal dengan hal-hal lain dalam suatu sistem
yang terintegrasi.
Berdasarkan beberapa
definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa fungsi adalah: pekerjaan dan pola
perilaku yang diharapkan dalam manajemen sebuah lembaga atau organisasi sesuai
hubungan guna dengan hal-hal lain berdasarkan status yang ada padanya, sebagai
suatu sistem yang terintegrasi dalam satu total kesatuan yang terorganisasi.
B. Pengertian
Museum
Pada masa Yunani klasik museum diartikan sebagai kumpulan sembilan dewi perlambang ilmu
dan kesenian, ini di dasarkan dari
etimologi kata yang berasal dari perkataan muze.
Namun di zaman ensiklopedi
meseum diartikan sebagai kumpulan pengetahuan dalam bentuk tulisan seorang
sarjana. Menurut arti yang lebih luas, museum dapat diartikan sebagai cermin
budaya bangsa.
Di Indonesia, oleh
masyarakat umum museum hanya dianggap sebagai tempat penyimpanan benda-benda
antik saja. Persepsi tersebut muncul karena pemahaman mereka terhadap museum
tersebut hanya berdasarkan pada benda-benda yang ada di dalam museum tersebut
atau memandang museum secara global semata. Sehubungan dengan hal tersebut
beberapa ahli memberikan gambaran tentang permuseuman seperti yang dikemukakan
oleh Drs.Muh. Amir Soetarga sebagai berikut: Museum adalah sebuah lembaga yang
bersifat tetap, tidak berusaha untuk mencari keuntungan, melayani masyarakat
dan perkembangannya, terbuka untuk umum, dan yang memperoleh, merawat,
menghubungkan dan memamerkan benda-benda peninggalan bersejarah untuk tujuan
studi pendidikan dan kesenangan.(Muh. Amir Sutarga, 1984:19).
Dari keterangan tersebut diatas
nyatalah bahwa museum bukan hanya sebagai tempat penampungan koleksi
barang-barang antik melainkan berfungsi sebagai tempat pengembangan ilmu
pengetahuan terutama dalam pengembangan ilmu sejarah dan arkeologi.
Selanjutnya pada konferensi umum International
Council Of Museum (ICOM) yang ke-10 dijabarkan tentang pengertian museum
sebagaimana dijelaskan sebagai berikut: Museum adalah suatu lembaga yang
bersifat badan hukum, tidak mencari keuntungan dalam pelayanannya kepada
masyarakat tetapi untuk kemajuan masyarakat dan lingkungannya serta terbuka
untuk umum dengan kegiatannya yaitu bertujuan untuk pengkajian dan pengembangan
ilmu pendidikan sebagai kesenangan. (Muh. Amir Sutarga, 1984:20)
Kalau dikaji lebih jauh
tentang pengertian museum yang di ketengahkan dalam konferensi umum International
Council Of Museum maka terlihat ada 4 poin yang merupakan hakekat dari pada
museum yaitu:
1.
Museum
merupakan badan yang tetap, tidak mencari keuntungan, dan harus terbuka untuk
umum, artinya bahwa museum tidak boleh disamakan dengan koleksi perorangan yang
hanya dapat dilihat dan dinikmati oleh kerabat dan sahabat pemilik koleksi saja
dengan dikatakan bahwa museum harus merupakan suatu badan hukum.
2. Museum adalah merupakan
lembaga yang melayani masyarakat untuk kepentingan perkembangan artinya bahwa
museum adalah merupakan sarana sosial budaya.
3.
Museum
memperoleh atau menghimpun barang-barang pembuktian tentang manusia dan
lingkungannya. Perkataan manusia
harus diartikan secara luas yaitu manusia sebagai makluk biologis dan makluk
kultural yang telah meninggalkan bahan-bahan pembuktian sejarah kebudayaan dan
peradabannya.
4. Museum memelihara dan
mengawetkan koleksinya untuk digunakan sebagai sarana komunikasi dengan
pengunjungnya, artinya bahwa museum adalah tempat memelihara dan mengawetkan
koleksinya demi kelestarian benda tersebut dan selanjutnya dijadikan media
informasi bagi masyarakat terutama yang ingin mendalami salah satu disiplin
ilmu yang ada kaitannya dengan benda-benda peninggalan sejarah tersebut.
Dari beberapa defenisi yang penulis paparkan diatas maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa museum pada hakekatnya bukan hanya sebagai
tempat penyimpanan benda-benda antik tetapi berfungsi ganda karena dapat dijadikan
sebagai tempat rekreasi yang edukatif. Oleh karena itu pengertian yang ada
dalam beberapa kamus bahasa Indonesia perlu disempurnakan seperti karangan S.
Wojowasito yang memberikan pengertian museum hanya sebagai tempat pemyimpanan benda-benda
bersejarah (S.Wojowasito:1976:262). Penyempurnaan bukan berarti merubah
pengertian yang sudah ada tetapi
melengkapi keterangan tersebut agar tidak terjadi kekaburan pemahaman
terhadap hakekat museum yang sebenarnya.
Dari defenisi tersebut diatas, maka kiranya dapat memberikan gambaran
tentang pengertian museum sesungguhnya bahwa museum itu mempunyai ruang lingkup
yang cukup jelas, seluas segala jenis atau cabang ilmu pengetahuan yang
dimiliki dan dikembangkan oleh umat manusia dewasa ini.
Menyadari bahwa museum
sebagai pranata sosial budaya yaitu sebagai badan hukum, maka museum tidak
bertujuan untuk mencari keuntungan sekaligus dimaklumi bahwa museum adalah
objek wisata. Mengingat pariwisata itu sendiri adalah salah satu pendidikan
dimana kedatangan wisatawan baik domestik maupun mancanegara di samping ingin
bersenang-senang dia juga ingin belajar dari pengalaman yang di dapat kemudian
membandingkan dengan peradaban dan keadaan lingkungan ditempat mereka berasal.
Berkaitan dengan hal
tersebut maka dalam museum diperlukan beberapa koleksi benda-benda lain yang
merupakan barang langkah. sebab semakin banyak koleksi benda-benda bersejarah
dalam sebuah museum maka akan semakin memotifasi masyarakat untuk datang
menyaksikannya. Olehnya bagi pihak yang berkompeten dalam pengurusan museum
kiranya lebih giat dalam melakukan pencarian benda-benda bersejarah dengan
tetap berorientasi pada kebijakan budaya nasional.
Selaras dengan perkembangan
manusia dan kebudayaannya, maka fungsi dan peran museum semakin berkembang dari
waktu ke waktu. Urgensinya semakin nampak dan semakin terasa sebagai suatu yang
sangat dibutuhkan dalam kehidupan manusia, baik sebagai pribadi, masyarakat,
bangsa maupun antar bangsa dalam artian yang lebih luas, khususnya dalam segi
yang berhubungan dengan pendidikan dan perkembangan kebudayaan.
Penyelenggaraan
museum, pada hakekatnya berpangkal tolak pada kesadaran, pandangan dan sikap
bahwa warisan sejarah budaya dan sejarah alam perlu dipelihara dan
diselamatkan.
C. Pengertian
Pelestarian
Pelestarian berasal dari kata
lestari yang berarti tetap selama-lamanya, tidak berubah-ubah sebagaiman sedia
kala. Hal tersebut dapat dilihat dalam kamus karangan W.J.S.Poedarminta, bahwa
pelestarian diambil dari kata lestari yang berarti sesuatu yang kekal dan tidak
mengalami perubahan. (W.J.S. Poedarminta, 1976:592).
Selanjutnya pelestarian ini mencakup kegiatan
pemeliharaan, perawatan, pengawetan dan perbaikan benda-benda peninggalan
sejarah yang ada dalam sebuah museum tanpa merubah keasliannya.
D.
Pengertian Peninggalan Benda-Benda Bersejarah
Kalau kita menelaah dari
kata peninggalan maka pertama akan
muncul dibenak kita adalah sesuatu yang merupakan bekas-bekas dari suatu
peristiwa yang pernah terjadi pada masa lampau atau mungkin dapat diartikan
sebagai sesuatu yang merupakan barang bukti dari peristiwa atau kejadian
seperti warisan, pusaka, atau reruntuhan-reruntuhan.
Berdasarkan asumsi tersebut
diatas maka jika peninggalan dihubungkan dengan kata benda-benda bersejarah
maka maknanya akan semakin jelas. Untuk lebih terarahnya pembahasan ini maka
penulis coba mengemukakan apa yang dimaksud dengan peninggalan benda-benda
bersejarah tersebut.
Menurut W.J.S.
Poerdarminta mengemukakan bahwa: peninggalan adalah barang apa yang
ditinggalkan, barang sisa (bekas, reruntuhan dan sebagainya) dari zaman dahulu.
(W.J.S. Poedarminta,1976:1076).
Berdasarkan kutipan diatas,
maka peninggalan benda-benda bersejarah dapat diartikan sebagai benda-benda
bekas sebuah peristiwa bersejarah pada masa lampau.
Apabila
ditelusuri lebih lanjut tentang benda-benda bersejarah yang nantinya akan
menjadi koleksi dalam museum, maka penulis dapat mengungkapkan sebuah asumsi
bahwa semakin banyak ragamnya benda-benda koleksi yang ada dalam museum
tersebut maka semakin mudah para pengamat dan peminat sejarah mengetahui
perkembangan kehidupan manusia pada suatu masa yang merupakan gambaran
ketinggian peradaban dan martabat manusia pada masanya.
BAB
III
SELAYANG
PANDANG TENTANG MUSEUM BUNG KARNO ENDE
A. Sekilas
Tentang Ende
Kata Ende berasal dari kata Ciendeh yang ada hubungannya dengan kata
Cindai dan Cinde yaitu nama kain adat yang terbuat dari sutera yang biasa
dipakai oleh penduduk dalam upacara-upacara adat. Cindai atau Cinde ini
menjadi barang dagangan yang berasal dari India. Dengan demikian diperkirakan Ende berasal dari Cinde atau Cindai yang
kemudian berubah menjadi Ciande dan Ciendeh, dan dalam perkembangannya
menjadi Ende atau Endeh. (F.x. Sunaryo.dkk, 2006:31).
Dengan adanya hubungan etimilogik bagi
nama Kota Ende dan Pulau Ende yang disinyalir dari istilah Cindai, maka dapat diketahui bahwa dalam
perjalanan waktu nama Kota Ende dan Nusa Ende telah mengalami penggantian
sebutan. Tulisan dan ucapan nama Kota dan Nusa
Ende sekarang biasa tanpa huruf h,
akan tetapi dalam tulisan dan ucapan terjemahan kata ende dalam ejaan latin masih biasa ditulis dengan huruf h menjadi Endeh.
Sejak masa penjajahan Portugis
penyebutan nama Ende memang tidak konsisten dan ditulis sesuai kemampuan yang
mendengar dan sumber yang digunakan sehingga nama Ende kadang-kadang ditulis
Endeh. Setelah masa penjajahan Belanda nama Ende yang sering juga ditulis Endeh
dikenal sebagai ibukota Afdeeling
Flores dan sekaligus ibukota Ondeerafdeeling
Ende.
Dari beberapa sumber yang ada
disebutkan bahwa Raja Ende juga melakukan kerjasama dan bahkan menyatakan
tunduk kepada Belanda. Hal ini ditunjukkan dengan keberangkatan 7 (tujuh)
penguasa Kerajaan Ende pada bulan Mei tahun 1839 yang pergi ke Kupang untuk
menyampaikan pernyataan kepada Residen Kupang Gronovius, bahwa mereka rela
menjadi rakyat Belanda. Penyerahan Kerajaan Ende ini disahkan oleh Gubernur
Jenderal. Penyerahan Kerajaan Ende ini terdorong oleh keberhasilan Belanda yang
mendatangkan 2 (dua) buah kapal perang untuk membasmi bajak laut pada tahun
1838. Kedudukan raja semakin lemah setelah Portugis menyerahkan pulau Flores,
Solor dan pulau-pulau sekitarnya kepada Belanda melalui perjanjian tahun 1851
dan disahkan pada tahun 1859 di Belanda yang tertuang dalam Indisch Staadblaad tahun 1859, No. 101.
Sejak penyerahan pulau Flores kepada
Belanda tahun 1851 sampai awal abad XX keadaan kacau. Hal ini disebabkan oleh
adanya gangguan keamanan, pembajakan di laut, dan peperangan yang terjadi antarpenduduk
pegunungan melawan penduduk pantai. Kekacauan semakin meningkat setelah raja
daerah pantai menyerahkan haknya kepada Belanda. Rupanya sebagian rakyat tidak
setuju atas tindakan rajanya maka beberapa kali Raja Ende justru mendapat
serangan dari raja-raja kecil di pedalaman sehingga Ende tidak pernah aman.
Beberapa peperangan yang terjadi misalnya pada tahun 1878 terjadi perang antara
Raja Ende melawan desa-desa sekitarnya dan terus berlanjut sampai tahun 1904.
Belanda sendiri mengambil posisi tidak ikut campur dalam kekacauan
antarwilayah, kecuali mendesak raja untuk adil terhadap rakyat dan Belanda
berusaha mengambil hati rakyat dengan cara melarang raja-raja memperdagangkan
hamba dan harus taat kepada Belanda. (F.x. Sunaryo,dkk. 2006:35).
Mulai tanggal 10 Juli 1907 Belanda
melancarkan aksi-aksi militer untuk menghadapi para perusuh dari daerah
pedalaman; setelah itu pada tanggal 10 Desember 1907 Belanda mengadakan operasi
militer ke arah barat pulau Flores yaitu Ngada dan Manggarai dan berhasil
menguasai daerah tersebut dalam waktu yang relatif singkat.
Pada tanggal 1 April 1915 Belanda
secara resmi berkuasa di Pulau Flores dan menjadi daerah jajahannya sampai
Jepang berkuasa di Indonesia. Setelah secara resmi berkuasa di Pulau Flores,
maka ditetapkannya Flores menjadi sebuah Afdeeling
yang diperintah oleh seorang Asisten
Resident berkedudukan di Ende. Afdeeling
Flores dibagi atas 7 (tujuh) Ondeerafdeeling
seperti yang tertuang dalam Indisch
Staadblaad No.743 yaitu Flores Timur dan Solor, Adonara dan Lomblen
(sekarang Lembata), Maumere, Ngada, Manggarai Utara dan Barat, Manggarai Tengah
dan Selatan, serta Ende. Selanjutnya Belanda mulai mengatur administrasi
pemerintahan di wilayah Ende. Usaha yang dilakukan dimulai dengan mempersatukan
kerajaan-kerajaan kecil menjadi beberapa kerajaan besar yang diperintah oleh
seorang raja atau zelfbestuurder yang
berpengaruh berdasarkan korte verklaring dari
Ratu Belanda Wilhelmina. Zelfbestuurder merupakan
raja yang otonom yang memerintah kerajaannya sesuai dengan adat-istiadat, namun
tetap diawasi oleh seorang pegawai Belanda yaitu controleur atau gezaghheber.
Dengan datangnya Belanda di Ende, maka
sistem administrasi yang teratur mulai diterapkan. Prasarana jalan di Ende pun
mulai dirintis dengan pembuatan jalan raya dengan sistem kerja rodi. Pembukaan
jalan yang dilakukan dengan kerja rodi itu menghubungkan satu kerajaan dengan
kerajaan lain dan satu desa dengan desa lain. Bersamaan dengan itu dibuka pula
jalan yang menghubungkan antar wilayah yaitu jalan raya yang menghubungkan
Larantuka di Flores Timur dengan Reo di Manggarai Utara wilayah Flores Barat
sepanjang 600 km. Kerja besar dengan menelan korban ratusan jiwa itu berhasil
diselesaikan dan diresmikan pada hari ulang tahun Ratu Wilhelmina tanggal 31
Agustus 1925. Untuk menunjang keuangan pemerintah, sejak tahun 1912 setiap
penduduk telah diwajibkan untuk membayar pajak kepada pemerintah Belanda.
Berdasarkan uraian sejarah diatas,
maka dapat dikatakan bahwa pada awal abad XX atau sekurang-kurangnya sejak
tanggal 1 April 1915 Ende telah tumbuh menjadi sebuah kota administrasi. Letak
kota itu mengambil lokasi di sekitar pusat kerajaan Ende yang letaknya sangat strategis
dan menguntungkan. Susunan spasial kota administrasi ini berkisar di sekitar
lapangan PERSE dan menghadap ke laut. Di sekeliling lapangan itu terdapat rumah
tempat tinggal kepala pemerintahan seperti asisten residen, kontrolir, dan
pejabat lainnya; dan tepat di depan lapangan ini berdiri kantor Afdeeling dan Ondeerafdeeling
Ende. Kantor Afdeeling dan Ondeerafdeeling Ende ini berdiri kokoh dengan gaya
bangunan arsitektur Belanda yang
kontruksi dan struktur bangunannya terbuat dari kayu; bangunan ini masih ada
dan dirawat oleh pemerintah daerah sampai saat ini dan digunakan sebagai Kantor
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende.
Pada saat Belanda masuk, di pusat
perdagangan Ende sudah ada kelompok Cina dan Arab. Mereka menempati daerah
strategis dekat pelabuhan dan pasar, sementara penduduk lain mendiami daerah
pinggiran di utara dan selatan. Boleh dikatakan bahwa Ende sejak awal sebelum
masuknya Belanda telah menjadi pusat bisnis dan pelabuhan antar pulau di
wilayah Nusa Tenggara. Pada awal pendudukannya Belanda membangun sebuah dermaga
sepanjang 165 meter di pelabuhan Ende yang berhadapan dengan pusat pemerintahan
afdeeling. Pembangunan pelabuhan ini mempertimbangkan aspek ekonomi dan
pemerintahan pihak Belanda di samping demi pertimbangan praktis keamanan
wilayah jajahan.
Perkembangan Ende berbeda dengan
daerah jajahan atau afdeeling yang lain. Ende berkembang dengan kombinasi
antara hubungan pedagang Islam dan Portugis, Cina dan Arab, dan antara
keterlibatan Gereja Katolik dan para Misionarisnya dengan pemerintahan kolonial.
Ende secara resmi berbentuk kabupaten
pada tanggal 14 Desember 1958 dengan luas wilayah 2.046,6 km². Ende terus berkembang menata semua aspek dan
tatanan kehidupan dari berbagai segi. Perkembangan Kota Ende juga tidak
terlepas dari peran Gereja Katolik dan para Misionaris yang telah ada dan
berkarya sejak zaman penjajahan dengan sistem organisasi yang rapi telah
membantu kemajuan Kota Ende. Gereja membeli tanah-tanah dalam jumlah yang besar
lalu membangun pusat-pusat pendidikan, usaha dan latihan kerja. Secara
struktural, gereja mendirikan sekolah-sekolah yang menciptakan kader-kader
perubahan. Selain itu gereja dan misionarisnya telah membangun sekolah
keterampilan atau Ambactschool pada
tahun 1926. (F.x. Sunaryo.dkk,2006:80). Dengan adanya sekolah ini mulai dihasilkan
tenaga-tenaga terampil yang dapat menciptakan lapangan kerja baru dan secara
alamiah mulai muncul persaingan yang menuntut keahlian dan profesionalisme.
B. Letak
Geografis Museum Bung Karno Ende
Keadaan geografis merupakan suatu
aspek yang sangat penting karena menyangkut masalah pertumbuhan kehidupan
manusia. Letak geografis suatu tempat, daerah atau suatu benda sangat
menentukan pembentukan watak atau keutuhan suatu benda tersebut. Oleh karena
itu hal ini sangat penting dalam usaha untuk mengetahui keadaan lokasi di suatu
daerah secara utuh. Seperti yang dikatakan Drs.J.B.Af.Mayor Folak dalam salah
satu pendapatnya bahwa: “Keadaan geografis adalah segala kondisi yang tersedia
oleh alam bagi manusia dan khususnya diperhatikan kombinasi-kombinasi kondisi
topografi dan kondisi-kondisi lain, dengan demikian keadaan geografi meliputi
tanah dan segala kebudayaannya sebagai darat, laut, gunung serta tumbuhan, binatang
dan segala kosmos seperti gaya gerak listrik atau kata lain segala apa yang
bukan pengaruh manusia.” (J.B.Af.Mayor
Folak, 1958:53).
Bertitik tolak dari hal tersebut di
atas maka penulis mengemukakan letak geografis Museum Bung Karno Ende yang
menjadi lokasi penelitian dalam proses pengumpulan data untuk penulisan karya
ilmiah ini. Ada pun letak geografis Museum Bung Karno Ende adalah sebagai
berikut:
Museum
ini terletak ± 1 km dari pusat Kota Ende, tepatnya terletak di Kelurahan Kota
Raja, Kecamatan Ende Utara, Kabupaten Ende - Pulau Flores, Propinsi Nusa
Tenggara Timur.
Letak
geografis secara detailnya dapat dijelaskan bahwa:
a)
Sebelah
Utara berbatasan dengan rumah Bapak Haji Abdulah Ambuwaru (alm).
b)
Sebelah
Timur berbatasan dengan Jalan Perwira.
c)
Sebelah
Selatan berbatasan dengan Kantor Lurah Kota Raja.
d)
Sebelah
Barat berbatasan dengan rumah penduduk diatas lahan tanah Bapak Haji Abdulah
Ambuwaru (alm).
Berdasarkan letak geografis
di atas maka dapat dikatakan bahwa letak Museum Bung Karno Ende sangat
strategis karena berada ditengah-tengah lingkungan masyarakat; baik masyarakat
umum maupun masyarakat pencinta sejarah dan para peserta didik baik siswa
maupun mahasiswa yang dalam disiplin ilmu tertentu menuntut mereka untuk
belajar dan meneliti benda-benda koleksi dalam museum ini yang merupakan benda-benda
peninggalan bersejarah.
C. Sejarah
Berdirinya Museum Bung Karno Ende
1. Latar Belakang Museum Bung Karno Ende
Pada awalnya museum ini adalah
sebuah rumah milik Bapak Haji Abdulah Ambuwaru (alm) seorang warga Kampung
Emburaga, sekarang Jalan Perwira Kota Ende. Rumah ini tidak dihuni karena baru
selesai dibangun dan masih banyak bagian dari rumah ini yang belum rampung
termasuk sumur yang ada juga belum disemenisasi, tapi bagian-bagian utama dari
rumah ini seperti dinding luar , ruang tamu dan beberapa kamar sudah dicat
dengan cat berwarna kuning. (Ibu Hjh.Siti
Hawa binti Haji Abdulah Ambuwaru, Wawancara, 30 Maret 2011).
Rumah
ini terdiri atas 2 (dua) buah bangunan yang berdiri terpisah. Yang lebih besar berukuran
± 8x12 meter² adalah bangunan utama menghadap ke arah Jalan Perwira yang
terdiri atas 1 (satu) ruang tamu, 3 (tiga) kamar tidur dan 1 (satu) ruang
keluarga. Di bagian belakang rumah utama ini ada 1 (satu) buah bangunan kecil
yang membujur berbentuk persegi panjang di samping kanan yang terdiri atas 5
(lima) ruangan. Ada 2 (dua) buah ruangan yang ukurannya lebih besar yang adalah
ruang makan dan dapur, dan 3 (tiga) ruangan lain yang berukuran lebih kecil
adalah kamar WC, kamar mandi, dan ruang peralatan/gudang. Di depan bangunan
kecil ini ada sebuah sumur dengan kedalaman ± 12 meter dengan air yang bersih
dan jernih. (Syafrudin Pua Ita,
Wawancara, 26 Maret 2011). Serambi belakang terbuka berupa selasar atau
teras dan di ujung sebelah kanan terdapat ruang kecil bertuliskan Ruang Samadi.
Bapak Haji Abdulah Ambuwaru terdiri atas 2 (dua) orang
bersaudara, adiknya bernama Haji Abdul Majid. Bapak Haji Abdulah Ambuwaru menikah
dengan Ibu Hjh.Fatimah binti Ahmad (almh) dan memiliki 10 (sepuluh) orang anak.
Meski hanya seorang rakyat biasa yang bermatapencaharian sebagai petani tapi Bapak
Haji Abdulah Ambuwaru mampu membangun
sebuah rumah yang cukup bagus dibandingkan dengan rumah warga pada umumnya
waktu itu. Rumah itu terlihat kokoh meski dibangun hanya dengan kontruksi kayu
dan semenisasi seadanya; rumah ini juga memiliki halaman yang cukup luas di
bagian depan dan belakang. Dengan kehidupan ekonomi yang pas-pasan dan memiliki
10 (sepuluh) orang anak, Bapak Haji Abdulah Ambuwaru membangun rumah ini secara
bertahap dan perlahan sesuai dengan ketersediaan dana dan material. (Ibu Siti Banhur Idris binti Haji Abdul
Latif, Wawancara, 30 Maret 2011).
2. Rumah
Untuk Bung Karno
Hari itu,
Selasa, 14 Januari 1934, Bung Karno dan keluarganya tiba di Pulau Bunga, Flores
tepatnya Kota Ende yang adalah sebuah kota kecil di pesisir selatan Pulau
Flores dan merupakan pusat pemerintahan Belanda untuk daerah jajahan Pulau
Flores dan pulau-pulau lain disekitarnya. Ende, sebuah kota kecil yang
biasa-biasa saja dengan masyarakat yang rutinitas kehidupannya kebanyakan
nelayan kecil dan petani kelapa. “Kenapa harus Ende? Kenapa Flores dan kenapa
harus di sini??” begitulah pertanyaan yang terungkap ke luar dari Ibu Inggit
Gunarsih yang menjadi pendamping setia dan motor pendorong semangat hidup Bung
Karno. (Lukas Batmomolin,dkk. Tim Nusa
Indah, 2006:42).
Kedatangan Bung
Karno ke Ende bukanlah satu peristiwa besar seperti di Jawa, manakala Bung
Karno tiba di suatu tempat untuk berpidato dan kegiatan politik lainnya. Hari
itu, sekitar pukul 08.00 pagi, waktu setempat, KM Van Riebeeck salah satu kapal
perang milik Belanda bersandar di pelabuhan Ende dengan membawa Bung Karno dan
keluarga. Penetapan Pulau Bunga, Flores sebagai tempat pembuangan bagaikan
sebuah penjara terbuka bagi Bung Karno.
Segera setelah turun dari
kapal, para pengawal yang membawa Bung Karno dari Surabaya langsung menyerahkan
Bung Karno kepada pemerintah setempat. Kejadian itu ibarat menyerahkan sebuah
barang titipan, ini adalah sebuah pengalaman yang sangat tidak menyenangkan
bagi Bung Karno. Akan tetapi Bung Karno menerima kenyataan ini dengan besar
hati. Bung Karno dengan senyum khasnya, turun dari kapal. Dengan jiwa seorang
pejuang, Bung Karno menapaki bumi Flores. Tanah Ende pun siap menerima calon
Presiden Indonesia yang kharismatik ini tanpa setahu masyarakatnya sendiri.
Dikawal tentara
Belanda, Bung Karno lalu diantar menuju sebuah pesanggerahan Belanda ± 500
meter dari pelabuhan, bangunan yang terbuat dari kontruksi kayu ini masih ada
sampai sekarang dan kini menjadi Markas POM ABRI. Bung Karno dan keluarga yaitu
istrinya Ibu Inggit Gunarsih, mertuanya Ibu Amsi dan anak angkatnya Ratna Juami
menempati pesanggerahan ini. Di sini Bung Karno mengibaratkan dirinya seperti
seekor burung elang besar dan perkasa yang kini tidak berdaya. “Aku menjadi seekor burung elang yang telah
dipotong sayapnya,” keluh Bung Karno kepada dirinya sendiri karena dalam segala
hal, Ende waktu itu bukanlah Jawa. “Dalam segala hal maka Ende, di Pulau Bunga
yang terpencil itu, bagiku menjadi ujung dunia. Jalan rayanya adalah sebuah
jalanan yang tidak diaspal yang ditebas melalui hutan. Di musim hujan lumpurnya
menjadi berbungkah-bungkah. Dan apabila matahari yang menghanguskan memancar
dengan terik, maka bungkah-bungkah itu menjadi keras dan terjadilah lobang dan
aluran baru. Ende dapat dijalani dari ujung ke ujung dalam beberapa jam saja.”
(Cindy Adam, 1966:171).
Pada suatu sore
yang cerah di keesokan harinya, Bung Karno berjalan-jalan disekitar lingkungan
itu untuk melihat dengan jelas bagaimana kehidupan masyarakat sekitar, dan
secara tidak sengaja Bung Karno bertemu dengan Bapak Haji Abdulah Ambuwaru (Alm).
Bung Karno dengan senyum khasnya yang bersahabat, langsung menyapa dan
berbincang dengan Bapak Haji Abdulah Ambuwaru (Alm). Dalam perbincangan itu
Bung Karno mengutarakan maksudnya untuk pindah dari pesanggerahan Belanda dan
mencari rumah sederhana yang menghadap ke arah timur untuk tempat tinggalnya
beserta keluarga. Maksud Bung Karno ini ditanggapi oleh Bapak Haji Abdulah
Ambuwaru (alm) dan beliau langsung menawarkan rumahnya yang baru di bangun dan
belum rampung itu untuk ditempati oleh Bung Karno tanpa meminta imbalan dan
bayaran sepeser pun. (Ibu Hjh.Siti Hawa binti
Haji Abdulah Ambuwaru, Wawancara, 30 Maret 2011).
Bung Karno
kemudian pindah dari pesanggerahan Belanda dan menempati rumah Bapak Haji
Abdulah Ambuwaru. Perbaikan seadanya atas rumah ini segera dilakukan oleh Bung
Karno sendiri dengan dibantu para tetangga yang adalah masyarakat kecil Kota
Ende, termasuk semenisasi sumur air yang dipakai untuk keperluan sehari-hari. Kehidupan
sosial masyarakat Ende yang bersahabat dan tulus membantu tanpa mengharap dan
meminta imbalan ini menorehkan kesan tersendiri yang begitu indah di kedalaman
hati Bung Karno. Bung Karno juga mengganti warna cat rumah yang sebelumnya
berwarna kuning menjadi warna merah putih. Tidak hanya bangunan rumah saja yang
di cat merah putih tapi juga pagar dan pot bunga. (Ibu Siti Banhur Idris binti Haji Abdul Latif, Wawancara, 30 Maret
2011).
Halaman rumah
yang cukup luas di bagian depan dan belakang ini oleh Bung Karno ditanami
sayur-sayuran dan tanaman obat-obatan yang bibitnya dibawa dari Jawa. Selain
untuk kebutuhan keluarganya, beliau juga membagikan sayur-sayuran untuk
tetangga-tetangganya. Oleh kehidupannya yang membaur ini, membuat Bung Karno
semakin dekat dengan masyarakat dan lingkungan sekitar sehingga dalam waktu yang
singkat beliau sudah memiliki banyak sahabat yang begitu setia kepadanya.
Bagi seorang
Bung Karno, yang telah terbiasa hidup dengan irama perjuangan, Ende ibarat
sebuah ambang kematian. Di Pulau Jawa, gelora semangat hidup Bung Karno telah
menyatu dengan revolusi. Di Ende, disamping kesepian, ketiadaan teman
berdiskusi dan massa yang siap mendengarkan pidato-pidatonya, membuat Bung
Karno merasa tertekan. Suatu ketika seorang sahabat menyatakan niatnya untuk
menyelundupkan Bung Karno keluar dari Pulau Bunga dengan kapal. Bung Karno
menjawab dengan tegas, ”Lebih baik jangan.” Bung Karno dengan terus terang
mengakui bahwa sering timbul pikiran menggoda untuk melarikan diri. Mendengar
ini sahabat Bung Karno tadi makin mendesak Bung Karno melakukannya, karena di
Jawa Bung Karno dapat bekerja lagi membantu teman-teman seperjuangannya
memerdekakan Indonesia. Kesetiaannya pada cita-cita perjuangannya sendiri dan
terutama karena harga diri yang dimilikinya, Bung Karno menampik lagi ajakan
sahabatnya itu. Beliau dengan tegas berkata, ”Itu bukan cara Bung Karno. Nilaiku adalah sebagai lambang di atas.
Dengan tetap tinggal di sini rakyat Marhaen melihat, bagaimana pemimpinnya juga
menderita untuk cita-cita. Saya telah memikirkan bujukan hatiku untuk lari dan
mempertimbangkan buruk baiknya. Tampaknya lebih baik bagi Bung Karno untuk
tetap menjadi lambang dari pengorbanan menuju cita-cita.” (Lukas
Batmomolin,dkk. Tim Nusa Indah, 2006:45).
Rumah sederhana
ini jadi awal hidup baru bagi Bung Karno. Beliau mulai menyusun siasat dan
strategi baru dengan kharismatiknya mampu mempengaruhi rakyat di pulau ini
untuk bangkit dan berjuang melawan penjajah. Beliau menyusun naskah-naskah
tonil atau sandiwara dan dengan bantuan para Misionaris Gereja Katholik yang
sekarang menjadi Biara Santo Yosef Ende dan Gereja Katedral Ende, sandiwara-sandiwara
itu dapat dipentaskan di Gedung Imakulata yang dulunya adalah gedung pertemuan
milik Misionaris SVD. Para pemain sandiwara ini adalah sahabat-sahabat beliau
sendiri yang adalah masyarakat Ende. Pada awalnya Bung Karno dan
sahabat-sahabatnya berkumpul untuk berbicara tentang apa saja, sekedar untuk
mengusir kesepiannya. Tidak ada diskusi formal tentang politik. Tapi lewat
pertemuan-pertemuan yang sederhana ini, Bung karno mulai mengajar sahabat-sahabatnya
tentang perjuangannya memerdekakan Indonesia. Semangat perjuangan ditanamkan
dalam hati mereka dan harapan Indonesia merdeka dihidupkan di dalam jiwa
mereka. Hasil dari pertemuan-pertemuan itu ialah lahirnya sebuah perkumpulan
sandiwara yang diberi nama “Toneel Club
Kelimutu.” (Lukas Batmomolin,dkk. Tim
Nusa Indah, 2006:50).
Seorang
misionaris yang menjadi teman baik Bung Karno adalah Pater Huijtink SVD yang
adalah pastor dari Belanda. Dari Pater Huijtink inilah Bung Karno memperoleh
bantuan dalam pementasan drama-dramanya, bahkan salah satu ruang paroki
diizinkan sebagai sanggar dan tempat latihan sandiwara oleh Bung Karno.
Dari persahabatannya dengan
para misionaris ini, Bung Karno bisa memperoleh bahan bacaan dari perpustakaan
milik biara. Bung Karno juga berdiskusi dengan Pater Huijtink dan para pastor
senior lainnya tentang kemerdekaan dan hak asasi manusia yang adalah pola pemikiran
bangsa-bangsa Eropa. Diskusi ini dilakukan di pendopo pastoran yang masih ada
sampai sekarang, di pendopo ini Bung Karno bertukar pikiran dengan para pastor
dan berdebat secara terang-terangan. Dari beberapa kali pertemuan dan diskusi ini
Bung Karno mendapat tambahan pengetahuan dalam merumuskan dasar-dasar negara
untuk kemerdekaan Indonesia. (Pastor
Hendrik Sara, SVD. Wawancara, 01 April 2011).
Di rumah sederhana yang terletak di
Kampung Emburaga ini telah lahir ide-ide cemerlang Bung Karno. Pulau Bunga,
Kota Ende, Rumah sederhana milik Bapak Haji Abdulah Ambuwaru dan
sahabat-sahabatnya selama di Ende serta kehidupan sosial masyarakat Kota Ende
telah menjadi kenangan tersendiri bagi Bung Karno dan tidak terlepas dari
perjalanan sejarah berdirinya bangsa ini.
Sampai
pada tanggal 18 Oktober 1938, Bung Karno dipindahkan ke tempat pengasingan yang
baru di daerah Bengkulu karena alasan kesehatan akibat wabah malaria yang mulai
menyerang Bung Karno. Bung Karno membagikan barang-barang dan perlengkapan
rumahnya kepada sahabat-sahabatnya. Para sahabat Bung Karno melepas
kepergiannya dari rumah di Emburaga dengan perasaan sedih tapi tetap mengiringi
langkah Bung Karno dengan doa demi perjuangan kemerdekaan Indonesia. Saat Bung
Karno pindah ke Bengkulu, Riwu Ga, salah seorang sahabat sekaligus pengawal
pribadi Bung Karno selama di Ende ikut bersama Bung Karno dan keluarga ke
Bengkulu. Kurang lebih 14 tahun lamanya Riwu Ga mendampingi Bung Karno dalam
segala suka dan duka. Ia menjadi pesuruh, menjadi pengawal, sekaligus menjadi
pelakon dalam tonil karya Bung Karno. (Roso
Daras, 2010:85).
Namun, nama Riwu Ga
“hilang” tidak lama setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Tugas
pengawalan kemudian di ambil alih oleh sejumlah putra bangsa. Sementara Riwu Ga
memilih pulang ke kampung halamannya dan hidup bertani hingga ajal menjemput. Dikisahkan,
pada awalnya Riwu Ga susah didekati. Ia sama sekali tidak mau muncul dan
dikenal sebagai orang dekat Bung Karno. Tapi pada akhirnya beliau mau menuturkan
kisah bernilai sejarah tinggi tentang perjalanan sejarah bangsa ini menuju
kemerdekaan. Riwu Ga menyimpan banyak sekali catatan sejarah berdirinya
Republik Indonesia yang barangkali belum terpublikasikan di buku mana pun. Bahkan,
manakala bangsa ini merayakan hari ulang tahun kemerdekaan, semasa hidup, Riwu
Ga tetap asyik menggarap ladang jagungnya. “Merah
putih adanya di dada,” kata Riwu
Ga. (Roso Daras, 2010:89).
Inilah bukti persahabatan sejati
dan kecintaan masyarakat Kota Ende terhadap Bung Karno dan perjuangannya
memerdekakan bangsa ini.
3.
Berdirinya Museum Bung
Karno Ende
Setelah Bung
Karno dipindahkan ke Bengkulu pada tanggal 18 Oktober 1938, rumah tempat
tinggal Bung Karno itu dikembalikan kepada pemiliknya, Bapak Haji Abdulah Ambuwaru.
Pada tahun 1950
Bung Karno mengunjungi Ende untuk pertama kalinya setelah Proklamasi
Kemerdekaan, beliau langsung bertemu Bapak Haji Abdulah Ambuwaru, sang pemilik
rumah yang menjadi tempat tinggalnya selama masa pengasingan di Ende. Kepada Bapak
Haji Abdulah Ambuwaru, Bung Karno meminta rumah tersebut, yang dijawab oleh Bapak
Haji Abdulah Ambuwaru sendiri, “Kalau
anak mau, ambil saja.” Bung Karno kemudian menjawab, “Bukan saya, melainkan pemerintah.” Akhirnya Bapak Haji Abdulah
Ambuwaru menghibahkan rumahnya ini kepada Bung Karno dan pemerintah. (Ibu Hjh.Siti Hawa binti Haji Abdulah
Ambuwaru, Wawancara, 30 Maret 2011). Hal ini menunjukkan adanya kesadaran
rakyat yang rela menyerahkan rumahnya untuk kepentingan yang lebih besar. Rumah
bekas tempat tinggal Bung Karno ini juga menjadi simbol perlawanan rakyat Ende secara
khusus dan bangsa Indonesia terhadap penjajah.
Pada kesempatan itu pula
Bung Karno menyatakan keinginannya agar rumah bekas tempat tinggalnya selama
pembuangan di Ende dijadikan museum. (Lukas
Batmomolin,dkk. Tim Nusa Indah, 2006:90).
Mengingat rumah
itu memiliki nilai historis yang sangat tinggi yaitu ada hubungannya dengan perjuangan
bangsa Indonesia, maka pemerintah setempat bersama Bapak Haji Abdulah Ambuwaru
dan tokoh masyarakat Kota Ende berusaha agar rumah itu dijadikan “Gedung Arca
Museum Bung Karno.”
Pada tahun 1952, Gedung
Arca Museum Bung Karno ini digunakan sebagai Kantor Jawatan Sosial Daerah
Flores sekaligus sebagai tempat tinggal kepala kantor karena jawatan itu belum
meiliki kantor yang baru, tanpa merubah bentuk dan struktur bangunan yang ada. (F.x. Sunaryo.dkk, 2006:121).
Kesadaran akan
pentingnya peninggalan dan bukti-bukti sejarah muncul dari kalangan muda di
Ende. Hal ini diperlihatkan dengan adanya kesadaran para muda-mudi yang tidak
merasa senang dengan kondisi dan pemanfaatan rumah Bung Karno seperti itu.
Munculah suatu gerakan yang dipelopori oleh Kanis Parera, seorang siswa Sekolah
Guru Atas (SGA) Katolik Ndao - Ende. Hal ini diungkapkan dalam suatu catatan
tertulis yang dibuat pada tanggal 31 Oktober 1962 oleh L.E.Monteiro, seorang
ex. Kepala Daerah Flores, yang dalam
keterangan selanjutnya ia menjelaskan mengenai usaha menjadikan rumah Bung
Karno ini dari tempat suatu kantor menjadi sebuah tempat bersejarah yang
diresmikan oleh Bung Karno sendiri.
Pada bulan
Agustus 1953 Kanis Parera mengambil inisiatif dan mengarahkan siswa-siswi SMAK
Ndao - Ende, SMAK Syuradikara, SMPK Ndao, SGB Negeri Ende, SR-SR di Kota Ende
serta semua sekolah lanjutan di Kota Ende dan Seminari Menengah Mataloko untuk menemui
Kepala Daerah Flores dan meminta pemerintah memulihkan kehormatan rumah bekas
kediaman Bung Karno. Pada perayaan peringatan Hari Proklamasi 17 Agustus 1953,
setelah upacara di lapangan PERSE Ende berakhir, semua peserta upacara mulai
dari Pemerintah Daerah Flores serta jawatan-jawatan, instansi-instansi sipil
maupun militer, Angkatan Bersenjata, Partai, Organisasi, tokoh-tokoh
masyarakat, para pengajar dan Guru serta sekitar ± 4000 murid/siswa-siswi
berangkat menuju kampung Emburaga tempat rumah bekas kediaman Bung Karno.
Sesampainya ditempat itu dilakukan upacara yang disebut “Pemulihan Penghormatan atas Rumah Bung Karno” dipimpin oleh protokol
Kanis Parera; dengan susunan acara sebagai berikut: Menaikkan Sang Saka Merah
Putih dengan diiringi Lagu Kebangsaan Indonesia Raya, Pidato oleh Kepala Daerah
Flores, dan Pidato Pemulihan Penghormatan atas Rumah Bung Karno yang dibawakan
oleh Kanis Parera sendiri. (F.x.
Sunaryo.dkk, 2006:121).
Kanis Parera
dan kawan-kawannya dari SGA Katholik Ndao - Ende juga membuat sebuah karya
dalam bentuk naskah singkat yang menggunakan ejaan lama, dengan bingkai kayu,
yang berisi ajakan kepada seluruh lapisan masyarakat untuk menghargai dan
memelihara Rumah Bung Karno. Karya sederhana ini digantung diruang tamu
berhadapan dengan pintu masuk dan masih ada sampai sekarang. Naskah singkat itu
berbunyi:
‘SGAK’
– 17-8-1953 - “Hargailah rumah bersedjarah ini. Diasingkan, dibuang,
dipendjarakan, dihalangi djiwa merdekanja di sini; ‘BUNG KARNO’ Korban
kemerdekaan Indonesia. Di sini bertunas menguntjup – mengembang, rentjana –
siasat merebut kemerdekaan, kedaulatan – persatuan Indonesia Raja.”
Tentang Kanis
Parera (alm) sendiri, dikenal sebagai aktivis mahasiswa dan terakhir dicatat
sebagai politisi kawakan Nusa Tenggara Timur hingga ajal menjemput dengan nama
“Bung Kanis.” Mengenai karir Bung Kanis di dunia politik, ia juga menulis
sebuah buku yang berjudul: “Jangan Takut
Berpolitik” tahun 2004 dengan editor Jannes Eudes Wawa, Wartawan Kompas.
Salah satu pesan politik Bung Kanis yang menjadi bagian dari isi buku ini dan
cukup terkenal adalah: “Berpolitik
praktis itu berarti bertarung dengan kursi dan kuasa. Berjuang dengan prinsip
dan resiko. Bergelimang dengan masalah rakyat banyak. Bergelut dengan
perjuangan dan tanggung jawab bangsa dan negara. Sarat dengan hak, berat dengan
kewajiban. Babak karena benturan, belur karena pukulan. Bimbang hadap kawan,
bingung hadap lawan. Kecewa gembira silih berganti. Khayal bisa mengawang untuk
akhirnya patah frustrasi.” (Tabloid Dwi Mingguan Suara Rakyat, Edisi 3/Tahun I,
16 - 31 Maret 2011:2).
Setahun
kemudian yaitu pada bulan Mei 1954, Presiden Republik Indonesia Bung Karno
kembali mengunjungi Kota Ende. Kunjungan ini dimanfaatkan untuk meresmikan
Rumah bekas kediaman Bung Karno menjadi “Museum
Bung Karno.”
Akhirnya pada tanggal 16
Mei 1954, Rumah bekas kediaman Bung Karno diresmikan menjadi Museum Bung Karno
Ende oleh Bung Karno sendiri.
Kanis Parera dan
siswa-siswi dari SGA Katholik Ndao dan SMA Katholik Syuradikara turut ambil
bagian dalam acara peresmian ini, mulai dari persiapan sampai acara puncaknya.
Acara peresmian itu disusun sebagai berikut:
1.
Nyanyian
“Soekarno Saja” yang dibawakan oleh siswa-siswi SGA Katholik Ndao dan SMA
Katholik Syuradikara.
2.
Sambutan
dari Kepala Daerah Flores.
3.
Sambutan
dari Gubernur Nusa Tenggara Timur yaitu Bapak Sarimin Reksodihardjo.
4.
Peresmian
Rumah bekas kediaman Bung Karno menjadi Museum Bung Karno Ende, ditandai dengan
acara pengguntingan pita oleh Presiden Republik Indonesia, Ir. Soekarno.
5.
Acara
melihat-lihat pameran barang-barang peninggalan Bung Karno dan rumah bekas
kediamannya.
Yang hadir dalam acara
peresmian ini antara lain: Mr. A.K.Pringgodigdo (Direktur Kabinet Presiden), S.
Hardjowardojo (Kepala Rumah Tangga Presiden), Mayor Sugandhi (Ajudan Presiden),
Dr. Ouw Eng Liang (Dokter Pribadi Presiden), Bapak Bambang Sugeng (Kepala Staf
Angkatan Darat), Dr. Leimena dari Kementrian Kesehatan, Bung Tomo dan Silas
Papare dari Biro Irian Barat, Sarimin Reksodihardjo (Gubernur Nusa Tenggara
Timur), J.F. Marow (Panglima Tentara Teritorial VII), Mayor Soedirgo (Komandan
CPM Tentara Teritoial VII), dan Mayor Ibnu Soebroto dari Resimen 26-VII.
Selain para pejabat
pemerintahan juga hadir para Wartawan yaitu: E.Baharuddin dari Indonesia Raja, A.
Umarsaid dari Harian Rakjat, Ritma dari Nieuwegier, Satya Graha dari Suluh
Indonesia, M.S. Ashar dari Harian Merdeka Jakarta, Dr. Wenner Meyer, Edm.R.
Johnson, dan Adinegoto dari Aneta, Suwito dari Antara, dan Wim Lattumeten dari
Pers Officer. (F.x. Sunaryo.dkk,
2006:123).
Presiden
Republik Indonesia Ir. Soekarno dalam acara peresmian tidak memberikan sambutan
atau wejangan apa pun. Beliau baru membawakan sambutan dan memberikan wejangan
pada acara ramah-tamah di Gedung Pertunjukan/bioskop dengan menyinggung masalah
rumah bekas kediamannya, masalah Pancasila dan juga pohon Sukun yang ada di pinggir
Lapangan PERSE Ende. Mengenai Pancasila dan pohon Sukun, Bung Karno sendiri
telah menyinggungnya dalam pidatonya dilapangan PERSE Ende pada saat
kunjungannya ke Ende tahun 1950. Pancasila kini telah menjadi milik seluruh
bangsa Indonesia. Ende - Flores,merupakan tempat Bung Karno memperoleh
kesempatan untuk mematangkan gagasannya yang masih berupa embrio dalam benak
Bung Karno tentang dasar perjuangannya memerdekakan Indonesia. Dasar perjuangan itulah yang memperoleh
bentuk akhirnya sebagai Pancasila.
Menurut
pengakuan Bung Karno sendiri, proses pematangan gagasannya itu dilakukan dalam
perenungannya di bawah sebatang pohon Sukun yang terletak di pinggir lapangan
PERSE Ende menghadap ke laut.
Mengenai perenungan tentang
butir-butir Pancasila itu Bung Karno melukiskannya dalam sebuah biografi yang ditulis oleh Cindy Adam sebagai berikut:
“Di
Pulau Bunga jang sepih tidak berkawan aku telah menghabiskan waktu berdjam-jam
lamanya merenung di bawah pohon kaju. Ketika itulah datang ilham jang
diturunkan oleh Tuhan mengenai lima dasar falsafah hidup jang sekarang dikenal
dengan Pantjasila. Aku tidak mengatakan, bahwa aku mentjiptakan Pantjasila. Apa
jang kukerjakan hanjalah menggali tradisi kami djauh sampai ke dasarnja dan
keluarlah aku dengan lima butir mutiara jang indah.” (Cindy Adam, 1966:300).
Dalam
sambutannya pada acara ramah-tamah ini juga Bung Karno menceritakan bagaimana
kedekatan bathinnya dengan Kota Ende dan rumah Bapak Haji Abdulah Ambuwaru. Kehidupan
sosial masyarakat Kota Ende yang hidup berdampingan secara damai meski terdiri
dari berbagai etnies dan agama menjadi dasar pemikiran Bung Karno untuk
merumuskan dasar negara. Rumah Bapak Haji Abdulah Ambuwaru telah memberinya
ketenangan dalam bersemadi, bersujud dan berdoa
kepada Tuhan Yang Maha Kuasa memohon ridho untuk perjuangannya untuk
mencapai Indonesia merdeka. Di Kota Ende juga Bung Karno kehilangan seorang
yang sangat dikaguminya, mertuanya Ibu Amsi (ibu dari Ny. Inggit Gunarsih/istri
Bung Karno) yang menjalani sisa hidupnya lalu meninggal dan dikuburkan di Ende.
Setelah
peresmian Museum Bung Karno Ende, pemerintah daerah menyerahkan kunci museum
kepada Ibu Hjh.Siti Mahani Sarimin (almh) dan dipercayakan untuk menjaga dan
merawat situs yang ada tapi tetap dalam pengawasan pemerintah daerah. Ibu
Hjh.Siti Mahani Sarimin adalah teman dekat Ibu Inggit Gunarsih selama hidup di
Ende, yang dengan setia merawat museum ini tanpa imbalan. Sampai pada tahun
1978, karena faktor usia yang semakin tua maka Ibu Hjh.Siti Mahani Sarimin
dengan sepengetahuan Pemerintah Kabupaten Ende, menyerahkan kunci museum ini
dan mempercayakan perawatan serta penjagaan museum kepada Bapak Pua Ita Abu
Bakar (alm). Bapak Pua Ita Abu Bakar adalah anak dari seorang sahabat Bung Karno
yaitu: Bapak Abu Bakar Damu (alm). Untuk jasa perawatan dan penjagaan museum,
Pemerintah Kabupaten Ende memberikan honor kepada Bapak Pua Ita Abu Bakar tanpa
diminta oleh yang bersangkutan sebesar Rp 175.000.-/bulan. Pada tanggal 15
November 2002 Bapak Pua Ita Abu Bakar meninggal dunia, maka kunci museum
dikembalikan pihak keluarga Bapak Pua Ita kepada Pemerintah Kabupaten Ende.
Pemerintah Kabupaten Ende dalam hal ini Dinas Kebudayaan dan Pariwisata kembali
menunjuk dan mempercayakan Bapak Syafrudin Pua Ita, anak dari Bapak Pua Ita Abu
Bakar (alm) untuk menjaga dan merawat Museum Bung Karno Ende. Penunjukan Bapak
Syafrudin Pua Ita ini hanya berdasarkan faktor keturunan dari sahabat Bung
Karno, dan diperkuat dengan SK (Surat Keterangan) dari Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Propinsi Nusa Tenggara Timur dengan honor untuk jasa penjagaan,
perawatan, dan pemeliharaan sebesar Rp 200.000.-/bulan. (Syafrudin Pua Ita, Wawancara, 26 Maret 2011). Meski dengan tunjangan
jasa yang tidak seberapa, tapi Bapak Syafrudin Pua Ita tetap setia dalam
menjalani hari-harinya di Museum Bung Karno Ende sampai sekarang. Dengan ramah
ia menyambut setiap pengunjung yang datang dan dengan pengetahuan yang dimiliki
tentang Rumah Bung Karno dan kehidupan Bung Karno selama di Ende yang diperoleh
dari Bapak Pua Ita dan kakeknya Abu Bakar Damu, Bapak Syafrudin selalu memberi
penjelasan yang berarti kepada pengunjung. Kebanggaan dan kecintaan masyarakat
Kota Ende terhadap Bung Karno dan perjuangannya tidak dapat tergantikan oleh
materi dan penghargaan apa pun. Museum ini menjadi kebanggan tersendiri bagi
masyarakat Kota Ende.
“Dengan
melihat rumah (museum) ini, kami merasakan seolah-olah Bung Karno masih hidup.
Semoga bangsa yang telah merdeka berasaskan Pancasila ini tidak pernah lupa
akan Kota Ende dan rumah (museum) ini.” (Ibu Hjh.Siti Hawa binti Haji Abdulah
Ambuwaru, Wawancara, 30 Maret 2011).
Langganan:
Postingan (Atom)