Dengan semangat Proklamasi 17 Agustus 1945, kita bekerja keras untuk
kemajuan bersama, kita tingkatkan pemerataan hasil-hasil pembangunan
untuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Selasa, 14 Agustus 2012
Rabu, 08 Agustus 2012
BUNG KARNO, ENDE & NASKAH TONIL : Semangat Revolusi & Ramalan Kemerdekaan Republik Indonesia.
Kemerdekaan
yang kita nikmati sejak 67 tahun lalu hingga saat ini, akan terasa begitu kosong
bila kita tidak mengetahui dari mana awalnya dan bagaimana gerakan perjuangan
itu sampai pada detik-detik menjelang berkumandangnya Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia hingga ke semua penjuru dunia.
Ende, sebuah
kota kecil dibagian tengah Pulau Flores – NTT tidak bisa terpisahkan begitu
saja dari sejarah kemerdekaan negeri ini. Kota kecil ini bukanlah Jawa pada
saat itu, tapi masyarakat dan kehidupan kota kecil ini telah banyak memberikan
inspirasi dalam gerakan revolusi seorang Bung Karno sampai pada puncaknya tanggal:
17 Agustus 1945.
Kota Ende
adalah tempat dimana Bung Karno menjalani masa pembuangannya sebagai tahanan
politik pemerintah Hindia Belanda dari tahun 1934 s/d 1938. Alangkah berdosanya
sebagian masyarakat negeri ini yang tidak mengetahui bagaimana Kota Ende yang
adalah rentetan skenario dan napak tilas perjuangan salah seorang pendiri
negeri ini. Saat-saat pertama menjalani kehidupan di Ende, Bung Karno merasakan
seolah berada di ujung dunia dan semangat revolusinya bagai berada dalam
kurungan. Namun irama hidup perjuangan seorang Bung Karno, telah membuatnya mampu
merubah situasi sulit ini dengan berbagai kegiatan untuk mengumpulkan kekuatan
revolusi yang baru.
Klub Tonil
Kelimutu adalah nafas perjuangan Bung Karno di Ende. Bersama rakyat kecil yang
tidak mengerti apa-apa, Bung Karno seolah membangun sebuah benteng pertahanan
rahasia yang tidak pernah terdeteksi oleh pemerintah Belanda. Bung Karno
membentuk komunitas masyarakatnya sendiri yang hanya terdiri dari para petani
dan pemetik kelapa, para nelayan dan para pemuda yang tidak mempunyai
pekerjaan. Bersama masyarakat sederhana yang tidak mengerti apa-apa tentang
politik inilah Bung Karno membangun sebuah kekuatan baru.
Dengan terbentuknya
Klub Tonil Kelimutu ini, Bung Karno menanamkan semangat perjuangan ke dalam diri
sahabat-sahabatnya. Harapan akan suatu bangsa yang merdeka dan Indonesia yang
berdaulat semakin dikobarkannya dan menyala-nyala dilubuk jiwa mereka.
Kesibukan baru pun mulai dijalani Bung Karno dengan menulis naskah-naskah
sandiwara yang ia pentaskan bersama komunitas kecilnya. Kecil dalam jumlah tapi
semangat mereka bagai karang yang menantang ombak. Selama masa pembuangannya di
Ende antara tahun 1934 – 1938, Bung Karno menulis 12 naskah sandiwara yang
semuanya bernafaskan revolusi untuk memerdekaan Indonesia.
Ende bukanlah
Jawa, dimana Bung Karno selalu berteriak lantang dalam orasinya bagai singa
podium. Namun lewat naskah-naskah sandiwara yang ditulis dan dipentaskan itu,
Bung Karno mampu merasuki jiwa kaum muda di Ende untuk terus berjuang tanpa ada
kata menyerah. Sandiwara-sandiwara yang ditulis oleh Bung Karno di Ende antara
lain: Rendo, Rahasia Kelimutu, Jula
Gubi, Koetkoetbi, Anak Haram Djadah, Maha
Iblis, Aero-Dynamiet, Dr. Sjaitan, Amoek, Sanghai
Rumba, Ngera Ende dan Indonesia ’45.
Naskah Tonil
atau sandiwara-sandiwara yang ditulis oleh Bung Karno, selalu memiliki hubungan
yang erat diantara satu dengan yang lainnya serta merupakan kelanjutan cerita
dari yang sebelumnya. Misalnya dalam sandiwara “Dr. Sjaitan,” “Kutkutbi,” dan “Aero
Dinamit” selalu berkaitan dan ada suatu hal yang tidak disadari adalah seperti ramalan
hari kemerdekaan Republik Indonesia. Dr. Sjaitan adalah seorang dokter
yang membangun sebuah laboratorium dengan tujuan khusus yaitu; menghidupkan
orang yang sudah meninggal. Para pekerja di laboratorium itu termasuk
dokternya, berjumlah delapan orang (bulan kemerdekaan Indonesia?).
Laboratorium itu memiliki sebuah pipa yang panjangnya empat puluh lima meter (tahun
kemerdekaan Indonesia?). Di dalamnya terdapat sebuah meja operasi yang
ditutupi kain warna putih. Setiap mayat yang dibawa ke sana untuk diambil
bagian tubuhnya, diletakkan di atas meja operasi dan ditutupi kain warna
merah (kedua warna bendera Indonesia?). Misi Dr. Sjaitan adalah hendak
membentuk seorang manusia baru yang berasal dari kumpulan bagian tubuh yang
berbeda dari orang-orang yang telah meninggal. Untuk menjalankan misinya, Dr.
Sjaitan dibantu oleh seorang mantri atau pembantu dokter. Dalam lanjutan
ceritanya; setelah bagian tubuh yang lainnya telah siap, kini tinggal tangan
kanan yang masih harus ditemukan. Tiba-tiba datang khabar bahwa ada seorang
yang baru saja meninggal, dan pembantu dokter menjelaskan bahwa tempat orang
meninggal tersebut berada di satu tempat antara Km 16 dan Km 18 (angka
antara 16 dan 18 adalah 17 – tanggal kemerdekaan Indonesia?).
Mayat tersebut lalu dibawa ke meja operasi dan diambil tangan kanannya untuk
ditambahkan pada sosok manusia baru yang siap untuk dihidupkan. Sosok manusia
mati ini akhirnya dihidupkan dengan bantuan setrum ilahi yang berasal dari
kilat dan guntur yang dihubungkan ke meja operasi melalui kabel yang dipasang
pada pipa raksasa yang menjulang tinggi ke langit. Manusia baru ini diberi nama
robot. Cerita tentang robot ini dilanjutkan dalam sandiwara yang berjudul “Kutkutbi.”
Kutkutbi yang tidak lain adalah robot yang hidup, di dalam dirinya terdapat
energi supranatural yang bukan main besarnya sehingga setiap tempat yang
dilaluinya termasuk sawah, kebun, maupun rumah masyarakat sekitar pasti musnah
dan hancur berantakan. Masyarakat pun beramai-ramai melakukan protes terhadap sang
dokter yang menciptakan Kutkutbi atau sang robot tersebut. Dokter kemudian
menemukan ide untuk menghancurkan robot ciptaannya itu. Selanjutnya kisah
penghancuran robot ini diceritakan dalam sandiwara yang berjudul “Aero Dinamit”.
Pertama sang dokter menyuntik robot dengan racun namun tidak mempan. Siapa yang
memegang sang robot akan terkena racun yang sama. Maka sang dokter memutuskan
untuk menciptakan sebuah dinamit yang dapat menghancurkan sang robot. Tepat
pada jam 12 siang, sang robot datang untuk makan dengan menggunakan sebuah
pipa. Dinamit telah diletakkan di dekat tempat makannya, dan ketika sang robot
sedang makan dinamit itu pun diledakkan maka robot itu pun hancur.
Seperti tiga
sandiwara Bung Karno yang berkelanjutan di atas, begitu juga
sandiwara-sandiwaranya yang lain. Nafas utama dari semua sandiwara yang ditulisnya
adalah: nafas revolusi dengan tujuan ganda, yaitu: sebagai sarana pendidikan
politik bagi masyarakat, sekaligus sebagai lokomotif yang membangkitkan
semangat perjuangan dalam diri mereka. Setelah Bung Karno dipindahkan ke
Bengkulu pada tahun 1938, ada beberapa sandiwara yang dipentaskan kembali di
Ende dengan mendapat persetujuan langsung dari Bung Karno.
Bung Karno
bagi sahabat-sahabatnya dan bangsa Indonesia adalah seorang pemersatu.
Keistimewaan Bung Karno lainnya yang ditanamkan dalam diri para sahabatnya di
Ende adalah sikap keterbukaan, kerja keras dan pantang menyerah. Beliau akan
dengan terus terang menegur dan memarahi sahabatnya yang malas atau kedapatan
melakukan kesalahan. Semua itu dilakukan Bung Karno dengan tulus dan terus
terang.
Kepada para
sahabatnya, beliau selalu menekankan semangat kerja keras agar tidak selalu
tunduk pada penjajah. Pada saat hendak meninggalkan Ende, Bung Karno berpesan
khusus kepada para sahabatnya untuk terus bekerja keras agar dapat membayar
pajak kepada pemrintah Belanda. Apabila tidak maka mereka harus bekerja kasar
untuk kepentingan penjajah sebagai resiko dari tidak membayar pajak.
Ketekunan
adalah juga salah satu sikap yang menonjol dari diri Bung Karno. Dari ketekunan
inilah lahir sikap kerja keras dan perjuangan yang tidak mengenal lelah, termasuk
untuk memerdekakan Indonesia.
Waktu memang
terus bergulir, tapi waktu takkan pernah bisa mengubur semua kenangan kehidupan Bung Karno bersama masyarakat kota
Ende. Kecuali memang sengaja dilupakan.-
Hormat
& Salam dari Penulis.
*** Kritik & Saran dari Pembaca sangat diharapkan demi penyempurnaan tulisan ini.
*** Kritik & Saran dari Pembaca sangat diharapkan demi penyempurnaan tulisan ini.
Sumber : BUNG
KARNO dan PANCASILA – Ilham Dari Flores Untuk Nusantara.
Minggu, 05 Agustus 2012
Para Veteran di antara Pengabdian dan Pahlawan
Pada waktu SMP dahulu, seorang guru saya pernah
menyatakan bahwa “hanya para pejuang kemerdekaan saja yang dapat menghormat
bendera merah putih dengan sikap tegap dan penuh penghayatan”. Pernyataan
itu memang sebuah sindiran guru kepada muridnya yang pada waktu upacara bendera
pada saat pengibaran bendera tampak sikap “ogah-ogahan” dalam menghormat
bendera.
Memang benar ucapan guru saya itu. Pejuang kemerdekaan
adalah saksi hidup bahwa perjuangan mengusir penjajah adalah suatu yang berat,
tidak hanya mengorbankan harta, raga sekalipun akan akan diberikan. Maka dengan
demikian perjuangan yang telah dilakukan akan membekas, dan tidak heran jika
dalam memperlakukan bendera merah putih akan begitu menghormat. Sikap seperti
itu bisa kita lihat dari para pejuang yang masih tersisa yaitu para veteran
kemerdekaan.
Pada saat ini, jika dilihat dari nasib para pejuang
kemerdekaan berada berbagai variasi di dalamnya, ada yang bernasib baik tetapi
tidak sedikit pula yang masih mengenaskan. Beberapa veteran yang bernasib baik
dapat dijumpai menjadi pejabat atau pengusaha, di lain sisi ada juga yang untuk
makan keseharian saja cukup sulit apalagi untuk hal lainnya seperti masalah
kesehatan atau rumah tinggal.
Dilihat dari kaca mata pengabdian apakah ada yang
salah dari keadaan tersebut?. Sejatinya namanya perjuangan dan pengabdian
memang tidak menuntut balas apa yang telah dilakukannya. Perjuangan yang
dilakukannya demi semata-mata untuk dipersembahkan kepada negeri yang di
cintainya itu. Maka benar pula apa yang dikatakan mendiang Presiden Amerika,
Jhon F Kennedy, “Jangan tanya apa negara berikan kepadamu, tapi tanya apa
yang telah kau berikan kepada negara”.
Dari keadaan para veteran yang masih memprihatinkan
itu, bisa jadi memang tidak ada perhatian yang serius dari pemerintah dan
rekan-rekan sejawatnya. Tetapi dengan melihat mereka tetap tegar dan tidak
berkeluh-kesah justru itulah yang menjadi nilai lebih bagi veteran itu. Hal itu
menunjukkan betapa tulusnya perjuangannya itu, beruang tanpa harus dapat apa
nanti terkecuali dapat bebas dari penjajah. Penghargaan kepada negeri yang
diperjuangkan seperti terdengar dalam lagu nasional, Padamu Negeri, “Padamu
negeri kami berjanji, padamu negeri kami berbakti, padamu negeri kami mengabdi,
bagimu negeri jiwa raga kami”.
***
Setelah merdeka, cerita-cerita heroik banyak meluncur
dari para veteran itu. Bukan untuk apa, sebagai sebuah pelajaran berharga bagi
anak cucu agar menjaga dan mengisi kemerdekaan yang direbut dengan susah payah
itu. Mendengar dan membaca cerita tidaklah sama dengan mengalaminya sendiri.
Jelas para veteran itu adalah para pahlawan kemerdekaan yang masih hidup. Untuk
itulah sebagai generasi penerus dan negara selayaknya menghargai jerih
payahnya, walaupun tanpa diminta.
Ungkapan kata bijak perlu mendapat perhatian, “Bangsa
yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya”. Pemerintah
dan kita juga, disadari atau tidak kurang menghargai jasa pahlawan itu.
Penghargaan bukan berarti memberikan tanda jasa atau monument, tetapi dalam
bentuk perhatian dan perlakuan yang layak. Perhatian yang yang paling kongkrit
adalah tidak membiarkan para veteran itu hidup dalam keadaan terlunta-lunta.
Paling tidak perlu diperhatikan tercukupi kebutuhan primernya, pangan, sandang,
dan papan.
Penghargaan yang paling esensi dalah menjaga negeri
ini dengan baik, yaitu tidak “mengkhianati” nilai perjuangan dengan tidak
korupsi, menjarah, serta tindakan yang tidak terpuji lainnya. Bagi generasi
muda selain belajar dengan giat untuk mengisi kemerdekaan, juga meresapi dan
mengenang perjuangan para pahlawan kemerdekaan itu. Dengan demikian maka kita
pun dapat menghormat bendera merah putih tersebut dengan dengan tegap dan penuh
penghayatan, seperti yang dilakukan para veteran itu
Sumber: Kompasiana.com
Jumat, 03 Agustus 2012
ASAL USUL SUKU UJAN DI BAKAN, KOLILEREK, KALIKASA DAN SEKITARNYA.
Mengenai asal usul suku Ata Ujan, belum pernah ditemukan sebuah naskah atau tulisan ilmiah tentang hal ini baik secara nasional maupun lokal. Oleh karena itu, dari cerita turun temurun maka dikumpul dan dikemas dalam tulisan sederhana ini tapi tetap dengan gaya bercerita maksudnya untuk membantu putra putri Ata Ujan mengetahui asal usulnya ditengah kehidupan modern dewasa ini.
Secara garis besar, asal usul suku Ata Ujan dapat digambarkan sbb:
- Suku Ata Uja adalah bagian dari suku-suku Lamaholot yang tersebar di Flores Timur, Adonara, Solor dan Lembata.
- Ada yang berpendapat bahwa mereka berasal dari Seram Goran, yaitu sebuah pulau kecil dekat Pulau Seram yang berarti Seram Kecil. Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa mereka berasal dari pelarian bencana tengelamnya pulau Lepan Batan di ujung timur Pulau Lembata; dan ada juga yang berpendapat bahwa suku Ujan juga berasal dari pelarian bencana Pulau Awololon.
Menurut cerita turun temurun, di Bakan ada 4 suku yang asalnya: Da Belo atau keluar dari lubang tanah tempatnya di Waiwawer Ataura. Awal mulanya orang-orang yang keluar pertama lalu duduk di atas Bliko atau pematang karena itu mereka disebut Blikololo. Orang kelompok kedua keluar dari lubang tanah dan duduk di atas Klamak maka mereka di sebut Lamakrajan. Kelompok orang ketiga keluar dari lubang tanah dan duduk di bawah pohon Kresaj maka mereka di beri nama Kresaor. Kelompok orang terakhir yang keluar dari lubang tanah dan duduk di bawah pohon Uja maka mereka di beri nama Ata Uja.
Dari kelompok orang-orang yang keluar dari dalam tanah ini keluar juga seorang ibu hamil dan seekor babi, tapi ibu hamil ini tidak dapat keluar karena lubang tanah itu telalu kecil maka ibu hamil tersebut akhirnya tertimbun tanah kembali atau yang di sebut Enan Nebeta. Sedangkan babi itu digunakan oleh orang-orang tersebut untuk berpesta karena mereka sudah diselamatkan. Maka tempat dimana mereka keluar itu disebut Waiwawer (air dan babi) karena ditempat itu terdapat seekor babi dan mata air.
Setelah bepesta mereka meninggalkan Waiwawer ke Waikokol lalu berkelana terus di atas perbukitan Ile Kerbau dan akhirnya sampai di Giwanobeng ( diatas Lewaji).
Di tempat itu terdengar ayam berkokok dan anjing-anjing melolong mereka pun akhirnya menuju ketempat itu dan ternyata disitu ada orang yang bemukim. Mereka pun saling berkenalan dan tinggal beberapa hari di tempat itu. Setelah tinggal beberapa hari di tempat itu orang-orang itu memutuskan untuk melanjutkan perjalanan mereka.tetapi sebelum mereka meninggalkan tempat itu mereka makan pesta besama-sama .Setelah makan-makan bersama orang-orang yang mau ditinggalkan tidak bisa berbuat apa-apa dengan sisa makanan pesta itu, maka orang-orang yang bekelana itu yang membagi-bagikan sisa makanan itu diantara mereka. Karena itu orang-orang yang di tinggalkan itu disebut Lewaji (lewu adik). Mereka lalu meneruskan perjalanan dan beristirahat di sebuah tempat. Disitu mereka makan daging dari seekor kambing yang adalah pemberian dari orang-orang Lewaji. Daging itu dimakan dengan cara dibakar, oleh karena itu tampat tersebut diberi nama Tuno Witeru (Bakar kambing). Mereka pun berjalan terus sampai disebuah tempat yang mereka beri nama Peni Tobe. Disini mereka terpaksa bermukim dan membangun tempat tinggal, setelah beberapa lama menetap mereka merasa tidak aman karena selalu ada anak-anak kecil yang hilang ketika mereka bermain sendirian atau ditinggal pergi sebentar oleh orang tua mereka. Oleh karena itu mereka semua sepakat mencari tau apa yang menjadi penyebab dari masalh tersebut. Akhirnya diketahui bahwa ternyata di dekat itu ada penunggu yang mengambil anak-anak mereka. Mereka pun akhirnya meminta bantuan dukun dari sebuah kampung di sebelah selatan yaitu Udak, untuk melakukan seremonial pembukaan hutan baru untuk dijadikan pemukiman yang dikenal dengan Bakan sekarang ini.
Dengan demikian terlihat jelas bahwa ada 4 suku asli di Bakan yaitu: Blikololong, Lamakrajan, Ata Uja, dan Kresaor.kemudiaan datang lagi suku lain dari Udak yaitu suku Ujan /Ata Uja dan suku Wuwur datang dari pelarian bencana Awololon. Untuk membedakan dua kelompok suku Ujan di Bakan maka suku Ujan asli di beri nama: Ujan Wailolo karena mereka diberi tempat diatas mata air dimana mata air itu di sebut Waiuja. Sedangkan suku Ujan yang berasal dari Udak di beri nama suku Ujan Batukoti karena mereka ditempatkan di dekat tempat permainan Batukoti (nama sebuah permainan masyarakat setempat). Begitu pun suku-suku yang lainnya di beri tempat sesuai dengan kesepakatan bersama.
Berdasarkan cerita di atas maka dapat di tarik kesimpulan bahwa suku Ujan yang berada di Bakan, Kolilerek, Kalikasa dan sekitarnya berasal dari dua kelompok yang berbeda yaitu suku Ujan asli dari Bakan dan suku Ujan yang datang dari Udak.-
Narasumber:
- Bapak Alm. Liku Ujan di Bakan.
- Bapak Simon Laga Ujan di Bakan.
- Bapak Mathias Balan Ujan di Kolilerek.
Langganan:
Postingan (Atom)